Public Relation... Gilee Beneer..

Thursday 30 December 2010
Ini nih yang bikin pusing mahasiswa.. Gak ada yang bingung kerjain nih tugas.. meskipun sudah izin sama B untuk begadang sampai pagi kerjain nih tugas tetap aja ketiduran depan laptop sampai pagi. mungkin karena dah biasa tidur cepat, heheee atau mungkin karena tugasnya yang aku gak ngerti makanya cepat ngantuk.. dan inilah hasil kerjaku selama beberapa jam.. meskipun amburadul hasilnya aku gak peduli yang penting jadi tuh tugas. sekarang tinggal berdoa aja semoga tuh bapak dosen Mr. Alwy Rachman bisa hargai kerja keras mahasiswanya..


Menjadi seorang public speaker tidaklah semudah yang dibayangkan hanya dengan melihat seorang MC (Master of Ceremony)  memandu suatu acara dengan lincah dan tenang sembari melempar senyum sesekali. Tak cukup dengan bermodalkan suara merdu dan penampilan menarik semata. Butuh otak cemerlang yang berwawasan luas dengan pembendaharaan kata-kata yang banyak dan memiliki kemampuan berbahasa yang memadai. Tak hanya itu, dia juga dituntut untuk kreatif, luwes, dan percaya diri. Berpenampilan menarik merupakan suatu keharusan untuk menjadi seorang public speaker karena dialah yang akan menjadi pusat perhatian pada acara yang dibawakannya.
Seorang public speaker harus menyadari bahwa setiap manusia unik dan berbeda satu dengan yang lain. Jadi sebelum tampil sebagai pemandu suatu acara sebaiknya seorang public speaker telah menyiapkan apa yang dia butuhkan seperti mengetahui dengan pasti jenis acara yang akan dipandunya, juga peserta dan tempat dilangsungkannya acara.
Public speaker juga sangat perlu memerhatikan bahasa yang digunakan, begitu juga penuturan dan ekspresi. Bukan jenis bahasa yang dimaksudkan di sini. Seorang public speaker sebaiknya mengerti bahasa yang digunakan untuk menghadapi sekelompok manusia tertentu. Berbahasa dengan audience yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi tentu berbeda dengan masyarakat biasa yang tak pernah mengenyam pendidikan formal. Menghadapi anak remaja tentu beda dengan audience dewasa. Begitu juga dengan lelucon yang kerap dilemparkan oleh seorang public speaker untuk memeriahkan suasana.
Seorang public speaker perlu memersiapkan bahan presentasinya sebelum membawakan acara, seperti tema acara yang akan dibawakannya atau mungkin sedikit menyitir kejadian yang sedang hangat pada saat itu kemudian menghubungkannya dengan tema acara. Mereka dituntut untuk kreatif dan mampu membaca kondisi psikologis audience dengan menawarkan keramahan dalam penuturannya. Public speaker memiliki peranan yang penting dewasa ini. Mereka sangat dibutuhkan untuk memublikasikan sesuatu entah itu informasi atau produk dan jasa suatu perusahaan kepada masyarakat. Untuk memeroleh kepercayaan publik terhadap informasi yang dibagikan tidaklah mudah dan hal itu menjadi tugas dari seorang public speaker.
Jika mereka gagal dalam melakukan tugasnya sebagai seorang public speaker, mereka akan malu dengan sendirinya. Karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Tidak ada lagi kepercayaan masyarakat pada informasi yang mereka tawarkan, dan hasilnya adalah tidak diterimanya barang jika mereka menawarkan produk yang berujung pada pemecatan karena telah mengecewakan pimpinan yang telah memercayainya.
Bahasa, ekspresi dan tutur dari generasi ke generasi tentu saja berbeda. Pada kisaran tahun 1933 hingga 1945 dimana tak satupun berita yang merupakan berita bagus, terkesan pedas, repetitif dan otoritas sehingga menghasilkan generasi yang terus bungkam dan tak bebas berpendapat. Hal ini menuntut mereka untuk melakukan pengamatan yang lebih mendalam karena informasi tak akan begitu mudah diperoleh. Di Indonesia sendiri pernah mengalami hal serupa dimana masyarakat tidak dengan bebas menyuarakan pikirannya apalagi melakukan aksi protes terhadap pemerintah secara terang-terangan. Solusi yang diambil oleh pemuda pada saat itu hanyalah menulis dan tak jarang menggunakan nama samaran. Resikonya jelas, penculikan hingga pembunuhan.
Sekarang ketika teknologi berkembang dengan pesatnya dan telah menjadi kebutuhan layaknya makan, bahasa publik tampil lugas dan transparan. Pemberian informasi menjadi lebih terbuka dan blak-blakan. Mereka lebih kritis dalam menanggapi fenomena yang sedang marak terjadi pada saat itu, bahkan dengan mudahnya melakukan aksi protes terhadap pemerintah. Bahasa, ekspresi dan penuturan dilakukan sebebasnya menjadikan bahasa publik wahana untuk meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat dan menjelma menjadi kepercayaan publik. Hanya saja hal ini memberi pengaruh negatif karena transparansi informasi yang kadang dilakukan dengan ceroboh dan mengakibatkan kebocoran informasi yang tidak semestinya diketahui publik luas.
Perbedaan bahasa dalam tiap generasi disebabkan adanya perbedaan situasi yang berbeda pula pada tiap generasi. Kebutuhan berbahasa dan berekspresi pada masa awal kemerdekaan tentu tak sama dengan masa sekarang yang luwes. Dapat  diterka pada generasi dulu kebutuhan berbahasa di depan umum lebih diperuntukkan kepada masyarakat untuk membakar nasionalisme dan semangat untuk membangun bangsa yang baru diberi kemerdekaan. Sedang sekarang lebih pada penarikan simpati terhadap sesuatu yang sedang ditawarkan kepada masyarakat. Seperti yang sering kita jumpai pada masa-masa kampanye politik para calon rakyat atau calon presiden.
Kebanyakan pejabat dan petinggi negeri ini kerap kali menyamarkan bahasa yang mereka sampaikan atau yang dikenal pula dengan double speak. Double speak sendiri bermula dikenal sejak awal tahun 1950 yang sering salah dihubungkan dengan George Orwell dan salah satu novelnya. Padahal double speak sebenarnya adalah bahasa yang gagasannya dengan bebas untuk menyamarkan arti yang sebenarnya contohnya eufimisme dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mengelak, ambigu, dan bahasa tingkat tinggi yang berniat untuk membohongi atau membingungkan. Double speak bukanlah sebuah kebetulan semata atau kesalahan pada lidah, malah disengaja untuk dilakukan. William Lutz memberikan beberapa hal yang menggambarkan double speak seperti mengubah kenyataan dan menjadikan yang buruk terlihat baik sehingga dapat diterima oleh publik dan untuk menggeser dan melonggarkan tanggung jawab.
Hingga era reformasi bahasa, ekspresi dan tutur yang mengandung double speak telah jarang didapati. Mereka condong menggunakan bahasa panasea untuk menarik simpati masyarakat dalam kepentingan politiknya. Hal  tersebut bermaksud untuk lebih menyentuh hati masyarakat yang sejatinya masih banyak menderita dan terdeskriminasi. Bahasa panasea sendiri yang juga berarti bahasa bagi kaum yang menderita atau bahasa untuk memerhalus permohonan tentu sangat efektif digunakan sebagai taktik untuk memengaruhi masyarakat seperti masyarakat di Indonesia dengan segala janji muluk untuk membenahi hidup mereka yang telah lama menderita.
Semua orang sebaiknya mempelajari budaya tutur suatu kaum, tak hanya seorang public speaker. Hal ini dianggap perlu agar dapat dengan mudah memahami penuturan kelompok sosial tersebut dan memudahkan pemahaman di antara keduanya. Sebagai seseorang yang berasal dari luar kelompok, maka kita bisa dengan mudah diterima dan informasi bisa mengalir dengan lancar jika memang kita dituntut untuk memeroleh informasi yang jelas dari kelompok tersebut.
Budaya tutur yang dipahami dapat dijadikan senjata untuk membantu kepentingan suatu institusi. Misalnya saja suatu lembaga dituntut untuk merambah daerah pelosok, maka hal yang paling pertama harus dilakukan adalah mengenal kebiasaan dari kelompok masyarakat yang akan mereka tuju. Dan dengan mengetahui budaya tutur kelompok tersebut dapat memudahkan mereka untuk diterima di tengah-tengah kelompok dan tujuannya menyampaikan informasi atau penawaran lainnya bisa dengan mudah mereka lakukan tanpa hambatan komunikasi yang berat. Dengan memahami budaya tutur kelompok masyarakat tersebut dapat membantu menghindari kemungkinan kesalahpahaman yang akan terjadi dan membantu menyelesaikan konflik jika terjadi kemudian. Jadi dengan mempelajari budaya tutur suatu kaum sangat membantu memudahkan kepentingan suatu institusi terhadap mereka.

Drive - Melepasmu

Tuesday 30 November 2010
Semalam, sesaat sebelum merayakan "Happy New Year" (baca Ngamaen) seperti biasanya anak-anak pada tes vocal dulu tuh sebelum show yang sebenarnya. Bersama Daeng Ichal sembari nunggu kawan yang laen mulai tuh nyanyi gak jelas.
"Cadel, lagunya Alawi dulu.."
"Yow mi Deng.. Drive toh.."
Abangku Alawi seorang Drive Mania, makanya tiap ngejam suka bawain lagu-lagu Drive.
Ichal mulai memainkan senar gitar..
Terdengar intro salah satu lagu Drive yang pernah menjadi hitsnya. MELEPASMU.
Aku ikut terbawa dalam lagu itu dan tanpa sadar ikut bernyanyi.

"... semakin kumenyayangimu 
semakin ku harus melepasmu dari hidupku 
tak ingin lukai hatimu lebih dari ini 
kita tak mungkin trus bersama..."

Aku sangat menikmati lagu itu, tak ada yang aneh yang kurasa. Tak lama Benga datang dengan sebungkus Malboro putih. 
"Ayo mi mulai!"
Aku mendekatinya dengan ekspresi riang namun sedikit aneh,
"Benga, kau sadar yang tadi lagu apa? Ikut ka nyanyi lagi."
Benga sedetik berpikir lalu membalasku dengan senyum yang kubaca sebuah kelegaan.


***
Dulu-dulu tuh lagu Drive yang Melepasmu tak akan pernah mau aku dengar, apalagi nyanyiin. Anti banget. Sebenarnya gak ada yang salah pada lagu itu. Yang aneh itu aku. Suatu yang kebetulan atau apalah namanya, ketepatan banget waktu lagu itu mulai terdengar dimana-mana pas dah dengan kisah percintaanku yang berakhir dengan satu-satunya cowok bisa aku bilang pacar (Jadi mantan-mantan sebelum dia apa dong namanya?? hahaaa). Sedikit aku ceritain kisahku dengan dia.. 


Namanya Chali. Kami jalan sekitar setahun setengah dan LDR. Dia kerja di Maluku. Entahlah kalian bilang lebay atau gimana, dia tuh satu-satunya cowok yang benar-benar pernah kusayang. Heheee. Karena dianya kerja di Maluku Tenggara dimana signal pelit banget, jadilah tuh teleponan cuma sebulan sekali. Gak masalah sih. Nah setelah pertemuan terakhirku dengannya dan dia balik lagi ke tempat tugas, dia nelpon dan ngabarin kalo dia dijodohin ma ponakannya omnya.. Ngek.. :( .. 
Bayangin gimana perih tuh hati, pas lagi sayang banget ma orang eh tiba-tiba harus dipaksa untuk lepasin.. Tambah perih tuh hati dengar lagu Drive tiap hari. Ibaratnya nih hati dah ancur berantakan trus digiles pake truk, ditambahin jeruk nipis dan diludahi pula.. That's why I hate that song..

Sunday 28 November 2010
Aku akan selalu sayang kamu Monster. Meski kekhawatiranmu selalu saja mengungkungku dalam peraturan yang tak pernah bisa kubantah. Hingga usiaku saat ini kau tetap saja terus memperlakukanku seperti keponakan kecilmu yang lugu. Rasanya kuingin berontak tapi tatapanmu masih juga berhasil mengunci dudukku.
Seperti malam ini. Kau memanggilku duduk di tembok teras yang diterangi purnama. Kali ini kau tidak marah karena aku pulang malam lagi seperti ketika aku pulang subuh beberapa tahun lalu. Orang rumah memang tidak pernah komplain, tapi setiap kali kembali kau pasti marah. Setelah cukup sering membangkang aku tetap saja nurut padamu. Aku akan betah tunduk berjam-jam mendengar ceramahmu ketimbang beberapa menit mendengar bujukan lelaki yang aku panggil Bapak.
Malam ini kembali kita membahas masalah yang sama enam tahun lalu. Di rumah sakit dengan wajah bonyok dan jahitan di jidadmu dulu kau setengah memohon memintaku berjanji untuk tidak pacaran hingga menanggalkan putih abu-abu. Meskipun saat itu kau takut jika aku harus menanggung karma atas perlakuanmu terhadap wanita-wanitamu. Malam ini kau ingin memperpanjang janji itu hingga aku selesai kuliah. Entah mampu atau tidak aku akan berusaha penuhi itu Monster karena aku sayang kamu. Karena tumbuh besar bersamamu menjadikanku tomboy. Karena setiap perlakuan sayangmu menjadikanku manja. Di dekatmu selalu tercipta rasa aman. Ingat ekspresi cowok yang hampir saja kau tonjok karena menggodaku waktu liburan kemarin? Ingin kuadukan padamu rasa sakitku karena perlakuan lelaki. Tapi aku tahu kau takkan bisa diam jika tahu itu. Aku juga sangat sayang kau Om. Karena kau tahu apa yang aku butuh. Dan aku harus rela menjadi tuan putri yang akan selalu kau lindungi dan manjakan.

Wasior in Class


    Rasya memasuki kelas setengah mengendap. Tak mau dia ketahuan terlambat oleh dosen yang dikenal super disiplin. Untunglah dia masuk setelah kemarahan Mam mereda. Sesuatu yang mengherankan dia datang terlambat. Walaupun dulunya dialah teman kelas yang terlambat tiap hari tak peduli kuliah pagi atau siang. Wajar jika dia digelari Miss Late. Tapi itu dulu di tahun pertama kuliah. Setelah menikah dia menjadi lebih rajin kuliah juga kini dia juga telah mengenakan jilbab.
    “Kenapa ko terlambat nah?”
“Dari ka Kansas makan. Terlambat ka bangun jadi tidak sempat sarapan di rumah.”
    Rasya menjawab sekenanya sebelum akhirnya membuka tas dan mengeluarkan catatan kuliahnya. Dua bulan belakangan ini  dia sangat menjaga pola makan dan kesehatannya. Maklumlah, dia sedang berisi sekarang.
    Ruang kelas sibuk dengan selembar kertas yang harus diselesaikan pada saat itu juga. Untungnya tugas berkelompok jadi aku bisa sedikit santai dan hanya bersuara jika dimintai pendapat oleh kawan kelompokku. Untuk mata kuliah Academic Writing aku akan selalu sekelompok dengan Rasya.
“Sakit kepalaku ini Sani.” Rasya memulai pembicaraan ketika tugas telah kami selesaikan.
    “Kenapa ko lagi kah tante?”
“Masuk rumah sakit mertuaku baru lagi kena bencana alam di Wasior.” Dia melepas kaca matanya dan memasukkan dalam tas.
“Sakit apa mertuamu kah?”
“Kena serangan jantung tadi malam.”
“Mertuamu saja kau pikir. Jangan mi pusingi Wasior. Sejak kapan kau mulai peduli sama musibahnya orang nah?”
“Idih kau San, kau lupa kah bilang bapakku tugas di Wasior?”
“Iyo kah? Hee..”
“Lama mi anu..”
“Jadi bagaimana mi pacemu? Ndak kenapa-napa ji?”
“Dia tidak apa-apa ji.”
“Syukur mako itu ka tidak apa-apa ji Pacemu. Mertuamu saja jagai.”
“Memang tidak kenapa-napa ji bapakku, tidak dapat ji bencana tapi lagi sakit kepalanya kasian pikirkan bencana di Wasior.”
“Bapakmu juga banyak tong mau dia pikir. Bilang saja sama dia, santai saja pak.”
“Bisanya itu santai kalau dia Kepala Dinas Kehutanan disana, baru lagi disoroti hutannya karena dianggap penyebab longsor. Memang ia sih banyak illegal logging disana.”
“Bilang saja datang ji nanti itu SBY sama isterinya kesana. Ka lebih bagus iya......”

    Belum juga menyelesaikan kalimatku dosen telah berada di belakangku dan ternyata telah mendengar sejak tadi.
“What are you talking about Sani? Have you finished your group task?”
“Of course Mam, we have done.”
“So, would you mind to explain me about your task?”
“With pleasure Mam..”
    Akhirnya tugas pun aku jelaskan pada dosen. Untungnya aku cukup mengerti tugas tadi karena teman sekelompokku terlalu sering bertanya dan meminta tanggapanku.
“You surprised me young lady. I think you do not participate to finish this task, but you show me that I was wrong about you. You are lazy one, not stupid. I hope you can join my class every week. And do not run away anymore.”
“Yeah, I hope so Mam. Hee..”

  

Dilema Hati Seorang Ibu

Ibu itu tampak resah. Baru saja dia menutup telepon dari adik iparnya. Dia sedang memangku si bungsu yang terus merengek minta gendong. Tampak keraguan di air mukanya yang kini mulai keriput. Usianya belum lah terlalu tua, namun kerasnya hidup membuat tubuhnya tak terawat. Kerjanya hanya di rumah. Melahirkan dan merawat anak serta mengurus rumah tangga. Dia merasa kecapaian namun si bungsu terus menerus merengek. Disumbat mulut anaknya dengan susunya. Kini anak yang lain juga datang mengusiknya dengan tangisan kecil. Kakaknya yang hanya lebih tua setahun lebih darinya merebut boneka yang ia mainkan. Si ibu berusaha menenangkan. Diusapnya rambut salah satu anak perempuannya.  Belum juga Nabila kecil menghentikan tangisnya, adiknya kembali berulah meminta gendong. Dipukuli badan ibunya dengan sesekali menendang-nendang dan tak jarang mengenai perut ibunya. Dia tak tahu bahwa dalam perut itu tersembunyi calon adik yang bersiap menggantikan posisinya sebagai anak bungsu.
Ibu itu punya begitu banyak anak. Dia dan suaminya percaya pada pepatah banyak anak banyak rejeki. Tak peduli bagaimana repotnya mengurusi anak kecil yang belum bisa mengurus dirinya. Anak pertamanya seorang lelaki yang kini telah beranjak dewasa. Usianya kini hampir pertengahan dua puluhan. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk membantu ekonomi keluarganya selain menjadi kuli bangunan yang upahnya tidak  seberapa. Mungkin hanya pekerjaan seperti itu yang bisa diperolehnya, mengingat ijazah yang ia miliki hanya tamatan SD. Jangankan untuk menghidupi seluruh keluarganya, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun masih jauh dari cukup. Paling tidak dia bisa membantu Ibunya menjaga adik-adiknya mengingat sang ayah bekerja di luar kota sebagai supir truk pada sebuah perusahaan tambang batu bara. Syukur jika tiap bulan bisa kembali ke rumah. Kehadirannya terwakilkan oleh sejumlah uang yang ia kirim setiap bulannya, hasil keringat halal yang ia kucurkan tiap hari. Sebenarnya uang bulanan itu tak juga cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang banyak. Untungnya sang  isteri mampu mengelola uang dengan baik sehingga tiap bulan dapat menyisihkan beberapa rupiah untuk keperluan yang tak diduga.
Anak keduanya adalah perempuan yang berjarak usia dua tahun dari kakaknya. Dia tinggal bersama adik dari ayahnya yang baru saja menelpon  ibunya. Sejak kecil dia selalu ikut dengan neneknya, Ibu dari ayahnya. Tapi kini beralih tinggal dengan tantenya. Ayahnya berusaha memberinya pendidikan yang layak. Dia tak  ingin Rima putus sekolah seperti kakaknya yang nasibnya berakhir di proyek bangunan. Namun keinginan ayahnya tak sesuai apa yang ia harapkan. Putrinya menanggalkan seragam putih abu-abunya di bangku kelas tiga. Sangat saying menurutku, mengingat tinggal beberapa waktu lagi dia akan menamatkannya.
Dia mewarisi paras ayu sang Ibu. Tak perlu heran jika banyak lelaki yang menaruh hati padanya. Karena itu pula sang nenek begitu mengawasi pergaulannya. Dia tak ingin Rima dirusak oleh lingkungan.
Adik Rima ada tujuh dan semuanya masih kecil. Anak ketiga punya jarak usia yang cukup jauh darinya. Bisa dikatakan ibunya melahirkan hampir tiap tahun. Dia hanya memiliki dua adik perempuan. Nabila dan salah satu kakaknya yang telah meninggal tenggelam ketika bermain di empang pada suatu sore. Seorang adik lelaki Rima dibopong oleh neneknya kembali ke  kampung. Telah bertahun-tahun sang adik tak pernah pulang. Bahkan telah ada empat adiknya yang belum pernah dia temui sejak mereka lahir.

Kini Nabila mulai tenang. Dia kembali bermain dengan kakaknya yang lain. Hanya si bungsu tak pernah mau lepas dari pangkuan Ibunya. Si Ibu tak bisa menyembunyikan kegalauan hatinya sejak menerima telepon dari adik iparnya dimana Rima tinggal. Entah kabar apa yang ia terima. Dia masih saja diam hingga akhirnya memulai penuturannya.
“Tante pusing. Om kamu kerjanya jauh.”
“Kenapa tidak memintanya pindah saja tante?”
“Bukan masalah jauhnya nak. Tadi tantemu di seberang menelpon, katanya adikmu Rima ada yang lamar.”
“Lho, bukannya bagus kalau dia dilamar? Toh, Rima sudah tak sekolah lagi dan dia sudah cukup dewasa untuk menikah.”
“Bukannya tante tidak senang nak. Ibu mana yang tak bahagia jika anak perempuannya dilamar. Hanya saja kabar gembira ini membuat tante bingung.”
“Apa yang membuat tante bingung?”

    Pertanyaanku dijawab dengan diam. Jawaban yang mewakili begitu banyak kata. Kini dia sibuk dalam hening yang ia ciptakan sendiri. Cukup lama. Sepertinya menimbang sesuatu, entah apa. Sekarang aku bisa melihat lewat sinar matanya, ada beban yang begitu berat sedang ditanggungnya. Lebih berat dari merawat sekian banyak anak sendirian. Setelah merasa bisa memberikan kepercayaannya padaku,dia pun menjawabnya.
“Rima sedang berkasus di polisi. Sebentar lagi sidang pertamanya akan dilaksanakan. Tante takut lelaki yang melamarnya tak bisa menerimanya.”
“Kalau dia  memang benar menginginkan Rima menjadi isterinya, lelaki itu harus menerima semuanya.”
“Ini bukan kasus yang biasa nak. Apalagi sekarang Rima ada yang lamar. Mungkin dia belum tahu kasus Rima.”
“Kasus apa sebenarnya tante? Rima anak yang baik. Dia tidak mungkin mencuri atau menipu, apalagi membunuh.”
“Ini bukan perkara seperti itu nak. Kasus ini memang tidak diketahui keluarga di kampung. Hanya nenekmu saja yang tahu. Tante malu jika orang kampung sampai tahu.”

    Handphone kembali berdering.
    “Dari tantemu.” Dia memberi tahu.
    Dan terjadilah perbincangan. Sepertinya lebih serius. Saya masih belum juga mengerti. Tak lama pembicaraan terputus.

    “Tantemu meminta agar kasus Rima ditutup. Bagaimana ini nak?”
“Saya tidak mengerti tante. Kasus Rima saja saya tak tahu. Kenapa tidak membicarakannya dengan om saja?”
“Om kamu tak bisa dihubungi sekarang. Dia sedang mengemudi. Mungkin nanti malam saja baru bisa ditelepon.”
“Bagaimana menurut tante sendiri. Apa kasusnya ditutup saja atau tidak? Kenapa juga tante disana meminta kasus ini ditutup?”
“Orang yang melamar adikmu ingin menikah secepatnya. Dia sudah setuju, tinggal menunggu persetujuan tante dan om saja. Kalau tante sendiri tak mau kasus ini ditutup. Keluarga kami telah dirugikan dan dibuat malu. Apalagi berkasnya telah masuk di pengadilan. Jadi ribet kalau mau mengurusnya kembali.”
“Kenapa tak menyuruhnya bersabar dulu? Tunggu lah sampai kasus ini benar-benar selesai.”
“Tantemu tak mau memberi tahu tentang kasus ini.”
“Bukannya lebih baik jujur kan?”
“Tante juga berpikir seperti itu nak. Tapi pertimbangan tantemu lain lagi. Dia takut lelaki itu menarik lamarannya pada adikmu.”
“Jujur saya bingung tante. Saya tidak bisa memberi tanggapan terlalu jauh untuk masalah yang saya belum ketahui secara jelas.”

    Tak  tahu pada bagian mana dari statementku yang salah. Sepertinya kata-kataku telah menyakiti hatinya. Dia menangis tak bersuara. Hanya air matanya saja yang mulai melukis garis-garis pada pipinya. Saya putuskan untuk tetap diam dan menunggunya menceritakan yang sesungguhnya. Tapi saya sendiri tak berharap banyak. Lukanya masih sangat perih. Dia masih menangis. Si bungsu tetap asyik menetek.
    Dia menyeka air matanya. Saya bersiap mendengar pengakuannya. Tapi dia kembali meneruskan tangisnya. Air mata tak hentinya bercucuran di wajahnya yang membentuk butiran air pada ujung dagunya hingga akhirnya jatuh ke lantai. Cukup lama menunggunya berhenti menangis. Hingga timbul kejengkelan dalam diriku. Sepanjang sore itu dia hanya bisa menagis. Sangat besar luka yang dia rasakan pikirku. Kalimat yang sempat terlontar dari mulutnya pada penghujung sore itu hanya satu.
    “Adikmu telah diperkosa dan pelakunya kini dipenjara.”
Barru, 14 Oktober 2010
05:18 pm
Cuplis