Public Relation... Gilee Beneer..

Thursday 30 December 2010
Ini nih yang bikin pusing mahasiswa.. Gak ada yang bingung kerjain nih tugas.. meskipun sudah izin sama B untuk begadang sampai pagi kerjain nih tugas tetap aja ketiduran depan laptop sampai pagi. mungkin karena dah biasa tidur cepat, heheee atau mungkin karena tugasnya yang aku gak ngerti makanya cepat ngantuk.. dan inilah hasil kerjaku selama beberapa jam.. meskipun amburadul hasilnya aku gak peduli yang penting jadi tuh tugas. sekarang tinggal berdoa aja semoga tuh bapak dosen Mr. Alwy Rachman bisa hargai kerja keras mahasiswanya..


Menjadi seorang public speaker tidaklah semudah yang dibayangkan hanya dengan melihat seorang MC (Master of Ceremony)  memandu suatu acara dengan lincah dan tenang sembari melempar senyum sesekali. Tak cukup dengan bermodalkan suara merdu dan penampilan menarik semata. Butuh otak cemerlang yang berwawasan luas dengan pembendaharaan kata-kata yang banyak dan memiliki kemampuan berbahasa yang memadai. Tak hanya itu, dia juga dituntut untuk kreatif, luwes, dan percaya diri. Berpenampilan menarik merupakan suatu keharusan untuk menjadi seorang public speaker karena dialah yang akan menjadi pusat perhatian pada acara yang dibawakannya.
Seorang public speaker harus menyadari bahwa setiap manusia unik dan berbeda satu dengan yang lain. Jadi sebelum tampil sebagai pemandu suatu acara sebaiknya seorang public speaker telah menyiapkan apa yang dia butuhkan seperti mengetahui dengan pasti jenis acara yang akan dipandunya, juga peserta dan tempat dilangsungkannya acara.
Public speaker juga sangat perlu memerhatikan bahasa yang digunakan, begitu juga penuturan dan ekspresi. Bukan jenis bahasa yang dimaksudkan di sini. Seorang public speaker sebaiknya mengerti bahasa yang digunakan untuk menghadapi sekelompok manusia tertentu. Berbahasa dengan audience yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi tentu berbeda dengan masyarakat biasa yang tak pernah mengenyam pendidikan formal. Menghadapi anak remaja tentu beda dengan audience dewasa. Begitu juga dengan lelucon yang kerap dilemparkan oleh seorang public speaker untuk memeriahkan suasana.
Seorang public speaker perlu memersiapkan bahan presentasinya sebelum membawakan acara, seperti tema acara yang akan dibawakannya atau mungkin sedikit menyitir kejadian yang sedang hangat pada saat itu kemudian menghubungkannya dengan tema acara. Mereka dituntut untuk kreatif dan mampu membaca kondisi psikologis audience dengan menawarkan keramahan dalam penuturannya. Public speaker memiliki peranan yang penting dewasa ini. Mereka sangat dibutuhkan untuk memublikasikan sesuatu entah itu informasi atau produk dan jasa suatu perusahaan kepada masyarakat. Untuk memeroleh kepercayaan publik terhadap informasi yang dibagikan tidaklah mudah dan hal itu menjadi tugas dari seorang public speaker.
Jika mereka gagal dalam melakukan tugasnya sebagai seorang public speaker, mereka akan malu dengan sendirinya. Karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Tidak ada lagi kepercayaan masyarakat pada informasi yang mereka tawarkan, dan hasilnya adalah tidak diterimanya barang jika mereka menawarkan produk yang berujung pada pemecatan karena telah mengecewakan pimpinan yang telah memercayainya.
Bahasa, ekspresi dan tutur dari generasi ke generasi tentu saja berbeda. Pada kisaran tahun 1933 hingga 1945 dimana tak satupun berita yang merupakan berita bagus, terkesan pedas, repetitif dan otoritas sehingga menghasilkan generasi yang terus bungkam dan tak bebas berpendapat. Hal ini menuntut mereka untuk melakukan pengamatan yang lebih mendalam karena informasi tak akan begitu mudah diperoleh. Di Indonesia sendiri pernah mengalami hal serupa dimana masyarakat tidak dengan bebas menyuarakan pikirannya apalagi melakukan aksi protes terhadap pemerintah secara terang-terangan. Solusi yang diambil oleh pemuda pada saat itu hanyalah menulis dan tak jarang menggunakan nama samaran. Resikonya jelas, penculikan hingga pembunuhan.
Sekarang ketika teknologi berkembang dengan pesatnya dan telah menjadi kebutuhan layaknya makan, bahasa publik tampil lugas dan transparan. Pemberian informasi menjadi lebih terbuka dan blak-blakan. Mereka lebih kritis dalam menanggapi fenomena yang sedang marak terjadi pada saat itu, bahkan dengan mudahnya melakukan aksi protes terhadap pemerintah. Bahasa, ekspresi dan penuturan dilakukan sebebasnya menjadikan bahasa publik wahana untuk meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat dan menjelma menjadi kepercayaan publik. Hanya saja hal ini memberi pengaruh negatif karena transparansi informasi yang kadang dilakukan dengan ceroboh dan mengakibatkan kebocoran informasi yang tidak semestinya diketahui publik luas.
Perbedaan bahasa dalam tiap generasi disebabkan adanya perbedaan situasi yang berbeda pula pada tiap generasi. Kebutuhan berbahasa dan berekspresi pada masa awal kemerdekaan tentu tak sama dengan masa sekarang yang luwes. Dapat  diterka pada generasi dulu kebutuhan berbahasa di depan umum lebih diperuntukkan kepada masyarakat untuk membakar nasionalisme dan semangat untuk membangun bangsa yang baru diberi kemerdekaan. Sedang sekarang lebih pada penarikan simpati terhadap sesuatu yang sedang ditawarkan kepada masyarakat. Seperti yang sering kita jumpai pada masa-masa kampanye politik para calon rakyat atau calon presiden.
Kebanyakan pejabat dan petinggi negeri ini kerap kali menyamarkan bahasa yang mereka sampaikan atau yang dikenal pula dengan double speak. Double speak sendiri bermula dikenal sejak awal tahun 1950 yang sering salah dihubungkan dengan George Orwell dan salah satu novelnya. Padahal double speak sebenarnya adalah bahasa yang gagasannya dengan bebas untuk menyamarkan arti yang sebenarnya contohnya eufimisme dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mengelak, ambigu, dan bahasa tingkat tinggi yang berniat untuk membohongi atau membingungkan. Double speak bukanlah sebuah kebetulan semata atau kesalahan pada lidah, malah disengaja untuk dilakukan. William Lutz memberikan beberapa hal yang menggambarkan double speak seperti mengubah kenyataan dan menjadikan yang buruk terlihat baik sehingga dapat diterima oleh publik dan untuk menggeser dan melonggarkan tanggung jawab.
Hingga era reformasi bahasa, ekspresi dan tutur yang mengandung double speak telah jarang didapati. Mereka condong menggunakan bahasa panasea untuk menarik simpati masyarakat dalam kepentingan politiknya. Hal  tersebut bermaksud untuk lebih menyentuh hati masyarakat yang sejatinya masih banyak menderita dan terdeskriminasi. Bahasa panasea sendiri yang juga berarti bahasa bagi kaum yang menderita atau bahasa untuk memerhalus permohonan tentu sangat efektif digunakan sebagai taktik untuk memengaruhi masyarakat seperti masyarakat di Indonesia dengan segala janji muluk untuk membenahi hidup mereka yang telah lama menderita.
Semua orang sebaiknya mempelajari budaya tutur suatu kaum, tak hanya seorang public speaker. Hal ini dianggap perlu agar dapat dengan mudah memahami penuturan kelompok sosial tersebut dan memudahkan pemahaman di antara keduanya. Sebagai seseorang yang berasal dari luar kelompok, maka kita bisa dengan mudah diterima dan informasi bisa mengalir dengan lancar jika memang kita dituntut untuk memeroleh informasi yang jelas dari kelompok tersebut.
Budaya tutur yang dipahami dapat dijadikan senjata untuk membantu kepentingan suatu institusi. Misalnya saja suatu lembaga dituntut untuk merambah daerah pelosok, maka hal yang paling pertama harus dilakukan adalah mengenal kebiasaan dari kelompok masyarakat yang akan mereka tuju. Dan dengan mengetahui budaya tutur kelompok tersebut dapat memudahkan mereka untuk diterima di tengah-tengah kelompok dan tujuannya menyampaikan informasi atau penawaran lainnya bisa dengan mudah mereka lakukan tanpa hambatan komunikasi yang berat. Dengan memahami budaya tutur kelompok masyarakat tersebut dapat membantu menghindari kemungkinan kesalahpahaman yang akan terjadi dan membantu menyelesaikan konflik jika terjadi kemudian. Jadi dengan mempelajari budaya tutur suatu kaum sangat membantu memudahkan kepentingan suatu institusi terhadap mereka.