Welcome to Balikpapan

Thursday 7 July 2011
     Kemarin, Rabu 6 Juli 11 aku tiba di pelabuhan Semayang Balikpapan. Perjalan kali ini adalah kali kedua aku berlibur di kota yang terkenal bersih setelah dua tahun lalu. Pelayaran yang kami tempuh dari pelabuhan Pare-pare berlangsung selama dua puluh jam.
Pelayaran dimulai saat pukul setengan delapan malam. Karena cuaca yang cerah maka perjalanan kami lancar tanpa khawatir akan datangnya badai. Sebelum berangkat aku bisa menikmati sunset yang cukup indah dari atas kapal.
Sunsetnya lumayan indah kan..

Sesaat setelah kapal mulai berlayar, beberapa orang di dekatku terlibat perbincangan ringan yang dimulai dari perkenalan basa basi.
“Kamu mau ke Balikpapan?” tanya seorang lelaki berkumis yang kuperkirakan berusia empat puluhan.
“Iye..” seorang pemudia awal dua puluhan menjawabnya.
“Sekolah di sana?”
“Tidak. Mau kerja di sana.”
“Mau kerja apa?”
“Belum tahu juga. Saya cuma dipanggil sama saudara di sana.”
“Lho, jadi belum tahu mau kerja apa?”
“Iya.”
“Kalo begitu ikut saya saja dek ke Tanjung Pelor di sana saya bisa menjamin pekerjaan untuk kamu. Kamu punya ijazah SMA?”
“Wah, ndak ada tuh pak. Saya ndak sampe tamat di SMA, cuma sampe kelas dua saja trus berhenti. Ndak ada uang.”
“Wah, susah kalo begitu. Kalo kamu tidak punya ijazah palingan cuma bisa jadi buruh harian.”
“Iya sih om..”
“Yah sudah kamu ke Balikpapan saja dulu, nanti kalo belum ada pekerjaan yang jelas kamu hubungi saya. Ini nomer HP saya.”
Merekapun saling bertukar nomer kontak. Dan begitulah perbincangan mereka berlanjut lalu kembali hilang dihempas angin. Mencari pekerjaan di negeri ini memang bukan perkara mudah. Punya ijazah saja belum bisa jadi jaminan. Relasi juga sangat dibutuhkan untuk masalah ini.
***
Perjalanan cukup membosankan ditambah matahari yang terik dan membuat gerah. Beberapa jam kemudian pulau yang dituju sudah nampak meski samar. Aku tak lagi sabar segera tiba. Kurang dari setengah jam kapal bersandar, beberapa penumpang nampak tak sabar lagi.
Dah kelihatan tuh pelabuhannya..
Dah gak sabar tuh.. hihihii..

Kami dijemput di pelabuhan oleh saudara dan langsung menuju daerah Manggar. Jarak tempuh lumayan jauh. Setiba di pusat kota Balikpapan tepatnya saat melewati kantor polisi terlihat sejumlah polisi anti huru hara dengan wajah yang sangat lemah dan capek. Rupanya baru saja terjadi tawuran antara suku yang mendiami pulau ini yakni Suku Dayak yang merupakan suku asli Pulau Kalimantan dan suku Bugis Makassar yang merupakan pendatang namun komunitasnya tak kalah besar dibanding penduduk asli.

Teori Konflik dalam Karya Sastra

Thursday 30 June 2011

Dalam ilmu kesusastraan ada banyak teori dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisi sebuah karya sastra. Begitu pula ketika ingin mengaitkan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang ada. Beberapa teori tersebut adalah teori resepsi, post-kolonialisme, Marxisme, konflik, habitus, game, dan sebagainya. Dari sejumlah teori tersebut semuanya bisa kita gunakan untuk menyelidik keberadaan realitas yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.
Salah satu hal yang merupakan bagian dari kehidupan manusia bahkan kadang menjadi penentu alur hidup seseorang adalah konflik. Konflik sendiri sangat luas cakupannya. Secara umum konflik dalam karya sastra bisa digolongkan menjadi dua, yakni konflik internal dan konflik eksternal. Untuk lebih jauh, konflik internal adalah permasalahan yang terjadi dalam diri seorang tokoh dan mengalami pergulatan dalam dirinya tanpa disebabkan atau mempengaruhi orang lain di sekitarnya. Sedangkan konflik eksternal adalah masalah yang terjadi dengan faktor lain di luar diri.
Konflik adalah sesuatu yang menjadikan hidup yang kita jalani menjadi lebih sempurna dengan segala lika liku problematika yang bisa ditimbulkannya. Dia menjadikan hidup lebih berwarna. Seseorang pasti akan merasa hampa jika selama hidupnya hanya merasakan kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya, seseorang lainnya pun akan merasa bosan jika terus menerus menderita.
Sebelum tercipta sebuah karya sastra, terlebih dahulu ide tertampung di dalam kepala penulis dan kemudian tercurah dalam bentuk yang berbeda. Ide tersebut biasanya berangkat dari pengalaman, baik itu yang dialami langsung oleh penulis itu sendiri maupun yang berasal dari orang di sekitarnya dalam menghadapi permsalahan hidup yang dialami. Dan semua karya sastra harus melewati proses penciptaan ide ini.
Misalnya saja penulis besar yang nama dan karyanya masih dikenal hingga saat ini yakni William Shakespeare mengalami konflik dalam dirinya. Dia diwajibkan untuk mengolah permasalahan yang terjadi di sekitar dirinya kemudian digubah menjadi rangkaian kata yang sangat indah dan menggugah. Hal ini disebabkan karena Shakespeare harus menghasilkan karya sastra yang indah sesuai dengan permintaan sang pemimpin tahta Inggris pada saat itu yakni Ratu Elizabeth Tudor atau Elizabeth I. Hal tersebutlah yang memaksa Shakespeare untuk terus menerus mencipta dan mengreasikan konflik di dalam kepalanya sebelum alhirnya menjadi sebuah maha karya.
Sama halnya posisi konflik dalam kehidupan, di dalam karya sastra pun konflik menjadi nyawa yang menentukan hidup matinya sebuah karya sastra. Semakin baik konflik yang terkandung dalam karya sastra semakin bagus pula apresiasi terhadap karya tersebut. Dan kembali harus kita ingat bahwa konflik dalam sebuah karya sastra berangkat dari kehidupan nyata. Karena karya sastra adalah bentuk refleksi dari kehidupan.
Pada kenyataannya, banyak karya sastra yang cenderung mengangkat permasalahan yang acap kali diangkat pada beberapa karya sastra yang lahir sebelumnya sehingga karya sastra yang lahir belakangan akan terkesan sebagai hasil plagiat. Hal ini bukan tanpa dasar sama sekali mengingat masalah-masalah yang ada dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu hampir semuanya sama. Dan ini menjadi tantangan bagi penulis untuk lebih piawai dalam meracik sebuah karya sastra untuk tampak indah dan tidak monoton.
Jika kita menggunakan teori konflik dalam mengkaji karya sastra tentu saja itu bisa sedikit memudahkan mengingat ada banyak percontohan yang bisa dijadikan acuan dari kehidupan manusia sehari-hari. Teori ini pula mampu untuk menganalisis bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Penggunaan bahasa antara seseorang yang sedang mengalami konflik dan seorang lainnya yang hidupnya ‘baik-baik’ saja tentu berbeda.
Sastra kanon merupakan ekspresi perlawanan terhadap tindakan penindasan yang nampak terjadi pada masyarakat. Karya sastra kanon hadir sebagai karya sastra yang terjadi pada kemelut zaman. Karya sastra kanon selalu saja berhasil menciptakan rasa solidaritas sosial antar individu dan semangat untuk saling melindungi satu sama lain.
Namun pada akhirnya karya sastra kanon hilang tenggelam dalam perkembangan zaman yang semakin maju dan pula disebabkan oleh adanya proses advokasi untuk hak dan kesadaran individu yang selalu ditanamkan dalam benak masyarakat tanpa melihat latar belakang budaya mereka. Sama halnya jika seseorang disuapkan sebuah masakan baru yang belum tentu berterima dengan sistim tubuh orang tersebut.
Terbukanya gerbang kebebasan untuk berekspresi menjadikan para pemilik imajinasi liar tidak menyiakan kesempatan tersebut dan seolah berlomba untuk saling mengadu kreatifitas mereka. Sehingga tanpa disadari terjadi pertarungan dalam terciptanya yang dikatakan karya sastra pop. Karya sastra pop atau yang dimaksudkan sebagai karya sastra popoler bisa dikatakan telah merajai pasar dengan eksistensi mereka yang sangat dekat dengan kehidupan saat ini. Karya sastra pop telah melakukan perombakan pada struktur masyarakat yang telah berlangsung rapi sejak lama. Mereka hadir untuk menguak kebenaran yang mereka yakini sehingga semakin memperlihatkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan semuanya merupakan kebenaran tunggal bagi sang pemilik kebenaran tersebut.
Keberadaan karya sastra pop memberikan ruang bagi para kaum muda untuk turut meramaikan eksistensi karya sastra. Namun sayangnya tak ada tolak ukur yang tetap yang bisa dikenakan pada setiap individu dalam menilai seberapa berkualitas kah sebuah karya sastra. Mereka bisa saja menggunakan teori persepsi dalam penilaian mereka. Sehingga banyaknya karya sastra populer yang lahir misalnya yang bergenre teenlit dianggap tidak layak dan tidak berkualitas untuk dilabeli sebagai sebuah karya sastra. Dan ini dikembalikan lagi kepada individu yang menilainya.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa sebuah karya sastra adalah bentuk dari refleksi kejadian yang benar-benar ada dalam keseharian karenia setiap karya sastra berangkat dari kehidupan yang nyata. Dengan dasar inilah para kaum muda yang memiliki kreatifitas tinggi dan cara yang lebih liar dalam berekspresi tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyajikan kisah yang terjadi dalam dunia mereka sebagai bentuk eksistensi sang individu yang menghasilkannya maupun kelompok yang diwakilinya.
Karya sastra pop bisa juga dikatakan sebagai bentuk kekecewaan terhadap realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan mereka. Jadi mereka menuangkannya dalam sebuah karya sastra dengan harapan untuk bisa mencapai apa yang mereka harapkan lewat karya sastra yang mereka hasilkan. Pada kenyataanya memang tak seedikit yang memberi perhatian pada karya sastra pop. Hal ini bisa kita terka bahwa karya sastra tersebut mengusung kekecewaan yang juga dirasakannya. Jadi salah satu bentuk keterikatan antara pembaca dan karya sastra pop adalah hubungan personal dari kekecewaan yang sama dirasakan.
Karya sastra pop belum bisa dikatakan menjadi penyebab perubahan sosial karena hal tersebut tidaklah terjadi. Mereka hanya menyajikan sebuah karya sastra dalam bentuk yang lebih menarik dan sesuai dengan kebutuhan dan style kekinian. Karena seorang penulis harus tahu target pembacanya. Dan sastra pop tidak bisa memberikan penawaran atas perbaikan struktur yang sebelumnya mereka rombak.

Workshop Art Ketiga Sanggar Seni Colliq Pujie Barru

Tuesday 28 June 2011

Sekelompok pekerja dan pemerhati seni budaya di lingkungan kabupaten Barru yang tergabung dalam sanggar seni Colliq Pujie menyelenggarakan kegiatan perekrutan anggota baru yang dinamai Workshop Art. Dalam workshop ini diberikan berbagai materi yang merupakan materi-materi seni yang mendasar seperti dasar-dasar materi akting, teater, keaktoran, sastra, fotografi, cinematografi, tari, desain grafis, musik dan rupa. Selain itu juga diberikan bekal dalam menjalani kehidupan berlembaga misalnya dinamika kelompok, keorganisasian dan kesekretariatan, serta satu materi yang khusus yakni peranan Dinas Kebudayaan Pemuda dan Olahraga dalam mendukung apresiasi pecinta seni yang biasanya dibawakan oleh kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Barru. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan lembaga dan untuk menghasilkan bibit-bibit seni baru yang diharapkan untuk lebih mengembangkan kesenian daerah dan turut serta berkecimpung dalam dunia kesenian tingkat nasional.
Workshop kali ini diselenggarakan selama lima hari di gedung sekolah SD Inpres Bottolai Kecamatan Barru yang terletak di salah satu pinggiran kota Barru yang masih asri meskipun telah tersentuh modernitas. Penyeleksian lokasi workshop memang dititikberatkan pada lingkungan terbuka dan jauh dari hiruk pikuk kota. Kedekatan peserta dengan alam sangat membantu dalam penggalian potensi diri mereka nantinya.
Kelompok seni ini memiliki ciri khas dalam pelaksanaan perekrutan anggota baru mereka. Sanggar Seni Colliq Pujie tidak mengenal istilah senior junior dan hal itu cukup membantu dalam menghangatkan kehidupan berlembaga.
Peserta workshop kali ini berjumlah tiga puluh empat orang yang masih berstatus pelajar SMP dan SMA pada beberapa sekolah di kabupaten Barru. Sebelum berangkat menuju lokasi workshop, peserta diminta berkumpul di sekretariat Sanggar Seni Colliq Pujie yang bertempat di Jalan Sultan Hasanuddin tepat di dalam kompleks kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Barru.
Setelah semua peserta workshop hadir di sekretariat dan diberi arahan oleh panitia dan diminta untuk menggunakan sarung sebelum akhirnya diberangkatkan ke lokasi workshop. Peserta diangkut dengan truk beserta barang-barang perlengkapan mereka. Biasanya mereka diminta untuk membawa perlengkapan pokok seperti alat makan, mandi serta alat tulis. Juga bagi mereka yang memiliki alat musik dibolehkan untuk membawanya serta.
Lagi dapat pengarahan

jangan dijual yah..

Setiba di lokasi workshop sekitar pukul setengah sebelas pagi, mereka tidak serta merta langsung memasuki gerbang sekolah. Ada ‘ritual’ yang harus mereka lalui ketika memasuki pekarangan sekolah untuk mengikuti upacara pembukaan. Mereka diminta membentuk satu barisan di depan sekolah dan memasuki gerbang satu persatu dengan kaki telanjang. Di gerbang telah menunggu seorang panitia yang berkostum nenek lampir dengan rambut yang dicat putih dan terurai dengan tongkat di tangan kiri dan gayung pada tangan kanannya untuk menyirami kaki-kaki peserta sebelum berjalan melewati kain hitam panjang yang telah dihampar khusus untuk mereka. 
baris-baris.. :)





Wah ada mak lampir yang nyiram kaki mereka.. hiihiiiiiiii :D
Kalo Academy Award punya red carpet.. Workshop Colliq Pujie juga punya spanduk hitam.. hehee.. :D
Ini dia nih yang nyiram kaki peserta pake air kembang.. tapi jangan salah yah, aslinya orang ini sangat manis loh..

Setelah prosesi tersebut selesai peserta diminta untuk membentuk satu barisan terpisah dengan panitia dan peserta upacara lainnya. Peserta dipimpin oleh seorang pemimpin upacara yang merupakan ketua panitia dari kegiatan workshop art ini. Dan peserta harus mengikuti seluruh perintah dan gerakan yang dilakukan sang pemimpin upacara.
Rangkaian kegiatan upacara tak jauh berbeda dengan upacara setiap senin di sekolah. Hanya metode dan pelaksanaannya yang berbeda dan memiliki ciri Colliq Pujie. Tema yang diusung pada upacara pembukaan workshop art tahun ini adalah animasi.

Ketua Panitia yang jadi pemimpin upacara

The Zahar
Pasukan pengibar bendera menuju tiang bendera nih..
Benderanya siap dikibarin
Wakil Presiden Colliq Pujie selaku pembina upacara beserta ajudannya
Benderanya dah mulai dinaikkan tuh
Ini nih gaya hormat buat bendera yang sedang dikibarkan..
Panitianya juga gak mau kalah ..
agenda terakhir adalah pembacaan doa oleh pegawai Rutan.. Kenapa bukan napi aja sekalian?? hehee..

     Setelah upacara pembukaan selesai peserta diberi kesempatan untuk merapikan barang-barang mereka di ruangan yang telah disediakan panitia dan diberi waktu untuk beribadah sebelum memasuki ruang forum untuk kembali menerima arahan panitia sebelum menerima materi pertama.
Ayo semangat kawan.. ini baru hari pertama loh..


Bersambung...

Awal Kemunculan Tubek

Monday 27 June 2011
Hari yang paling ditunggu-tunggu bukanlah awal bulan, melainkan moment wisuda dan ulang tahun dimana ketika kedua hari itu tiba kami bisa menghemat uang makan dan pastinya porsi makan yang tak seadanya. Cukup melist hari lahir kawan-kawan dan selanjutnya berbasa-basi memberi ucapan dan segala macam doa lewat short message atau posting di wall facebook dan ujungnya adalah pengemisan traktir kepada yang berulang tahun.
      Malam itu Cycha datang dengan matic putihnya disusul Visal tentunya. Masih dengan gaya centilnya memasuki pintu rumah.
      “Assalamu alaikum..”salamnya terjawab singkat “Lam..”
      “Ayo ke rumahnya Rani! Ulang tahun ki. Makan-makan.”
      “Iyo kah? Serius duleh.. Sa kira lewat mi.” Oq antusias.
      “Lewat mi memang tapi baru datang Macenya dari Sorong.”
      “Wee, ada perkemekan di rumahnya Rani!”
      Oq berteriak memberi tahu yang lain di kamar dan balai-balai belakang rumah. Tanpa teriak pun mereka pasti sudah tahu dan bisa mendengar percakapan di ruang depan.
      “Kurang motor tante.” Aku menatap Cycha.
      “Ada ji motorku, kan saya sama Visalku.”
      “Masih kurang lah. Tidak bisa juga bonceng tiga ke rumahnya Rani.”
      Benga muncul dari belakang lalu ikut dalam percakapan.
      “Sms Uznul sama Wawan, dia mau ke sini sa kira.”
      “Sani, Garring juga sekalian.” Oq menambahkan.
“Ke Takalar ki Garring dia bilang. Biasa subuh pi dia pulang jadi langsung masuk kampus.”
      “Sms mi saja. Paling tidak kita kasi tahu ji.”

      Send to many, Atenk; Idunk ; Garring
Ad undgan k rmhX tante Rani. Ad acr kmek.
Kmpul d RR spy qt bragkt rme2. Cpatko smua.
Sender : Cadel
Pesan telah terkirim.


      Semua mulai bergegas, bersiap untuk mengeksekusi makanan di rumah Rani kecuali Ical. Sejak tadi dia jarang ngomong, kerjanya hanya tidur di dalam kamar. Baru kali ini dia betah berlama-lama di kamar.
“Sama Uznul mako nanti kau Sani. Jadi Uun bisa sama Ical. Ada ji motorku sama motornya Cycha juga jadi bisa ji dipake sama Ang atau Dotja.” Oq mulai mengatur siapa membonceng siapa.

      “Ndak mau ikut Ical katanya” Benga muncul lagi.
      “Kenapai Ical kah?” Dotja menoleh ke Benga.
      Mendengar kami sedang mempertanyakan dirinya di halaman depan, Ical keluar kamar dengan sarung yang ia kenakan. Pemandangan yang sangat jarang terlihat.
      “Ndak usah ma ikut. Panas badanku. Jaga rumah meka saja saya.”
“Ikut mako saja Cal, na adaji penjaganya RR. Kenapa kau bisa demam kah?”
“Tidak bisa ka juga jalan ini. Malas ka pake celana. Sakit biji ko**o*ku. Ini yang kasi panas badanku.”
“Kau kah tidak kau kasi istirahat juga barangmu. Jangan dikasi kerja terus itu barang.” Oq menimpali ditambah senyum busuk sedang yang lain juga ikut senyam senyum.

Semua kini berada di halaman depan. Hanya Uun yang sibuk keluar masuk rumah. Uznul telah tiba serta Wawan dan Ria yang sampai tak lama sesudahnya sedang Garring belum juga memberi konfirmasi. Mungkin pulsanya habis pada saat, hanya itu yang bisa aku perkirakan.
Kami tinggal menunggu Uun yang kini berada di dalam kamar. Mungkin dia sedang mengutak atik tas pakaiannya yang kami simpan dalam kamar bersama buku-buku kuliah tak terurus dan barang rongsokan lain yang tak kunjung kami buang. Kami membiarkan saja barang-barang itu tetap berada dalam kamar. Paling tidak bisa menjadikan kamar RR memiliki fungsi sebagai gudang. Bukan kamar tidur.
Uun melangkahkan kakinya keluar kamar. Dengan celana jeans hitam selutut yang sangat jelas mempertontonkan betis berototnya dipadankan dengan baju kaos berwarna hitam pula. Sama hitamnya dengan hati si pemakai. Tapi bukan itu yang menjadi centre of attention buat kami. Pakaian serba hitam dan wajah yang selalu dibuat-buat cool sudah sangat sering kami jumpai. Malam itu dia mengenakan topi hitam lebar persis topi yang sering dipakai porsenil Peewee Gaskin. Dengan mantap dia menghampiri kami dan berujar,
“Ayo mi!”
Sejeda kami diam dan saling pandang kemudian. Karena tak mampu lagi menahannya akhirnya pecahlah tawa kami. Ical sendiri sejenak melupakan rasa sakit pada bijinya. Dia terpingkal pula. Uun hanya melongo mempertanyakan apa yang menjadi bahan tertawaan kami dalam hati.
“Mauko ke mana Un?”Dotja tertawa sambil bertanya.
“Sa kira mau makan di rumahnya Rani.” Uun masih saja bingung.
“Cocok mi. Tidak mau ji pergi geol orang Un.”
“Kau kayak Tukang Becak saja penampilanmu.”
Semua kembali sibuk tertawa. Dia pun ikutan tertawa atas kekonyolannya.
“Hahaaaahaaaa… kau kayak tubek Un.”

Kami pun berangkat ke rumah Rani meninggalkan Ical dan sisa lelucon tadi bersama semahluk cantik yang tak terjamah yang juga hidup bersama kami menghuni RR. Tak apalah sekali dia berdiam diri di rumah. Kami menjanjikan untuk membungkus makanan untuknya.
Sepanjang perjalanan pun tetap saja Uun dengan gelar barunya menjadi bahan tertawaan. Bahkan sesampai di rumah Rani masih juga menertawakan profesi baru Uun sebagai tubek..

Baris Rindu

Aku merindukanmu pada setiap detik yang kulalui tanpa hadirmu. Aku merindukanmu pada setiap jeda tanpa kecup hangatmu. Yah, aku merindukan semua perlakuan manismu untukku. Pula tingkah pongahmu. Aku sayang kau feromonku.. :)

Teori Game 'Wittgenstein' dan Novel 5 cm: sedikit ulasan


Ada beberapa teori yang bisa digunakan dalam menunjukan realitas dalam sebuah karya sastra. Di antaranya adalah Teori Habitus yang dicetusoleh Pierre Bourdie, Teori Konflik dan teori yang dipelopori oleh Wittgenstein yaitu Teori Game. Masing-masing teori memiliki persan dan sejarah tersendiri. Untuk selanjutnya saya akan mencoba memaparkan realitas yang ada dalam karya sastra melalui Teori Game.
Teori game pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Wittgenstein. Teori game sendiri lebih digunakan untuk menganalisa bahasa. Wittgenstein menepis keberadaan bahasa yang berlaku universal yakni bahasa yang telah merangkum segala bahasa berdasar pada aturan-aturan logika. Dan sebagai ganti dari pendapat tersebut dikembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Wittgenstein tidak memungkiri adanya bahasa metafisika,teologi dan etika, tetapi lebih menegaskan baha bahasa-bahasa tersebut adalah salah satu dari sekian ragam bahasa khusus yang merupakan salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Permainan bahasa adalah sesuatu yang sulit untuk diprediksikan. Hal ini diakibatkan oleh sifat spasio-temporal yang dimiliki permainan bahasa yakni tergantung pada konteks waktu dan tempat tertentu. Dalam permainan bahasa tidak ada norma yang mengikat dan bersifat absolut bagi setiap ragam penggunaan permainan bahasa.
Wittgenstein memulai pemaparannya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa tak bisa dilepaskan dari pengguaan bahasa sehari-hari yang sifatnya sederhana. Permainan bahasa adalah sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kecil sehingga Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa yang primitif. Secara lebih luas, dia mengatakan baha keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan manusia yang senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Jadi, setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah perwujudan dari permainan bahasa.
Konsep Wittgenstein tentang realitas dunia yang dilukisakan melalui bahasa dan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dan bahkan menjadi dasar Ontologis Tractus.
Permainan bahasa dalam sebuah karya sastra adalah suatu elemen yang memiliki peranan penting dalam menghidupkan cerita yang tertuang dalam sebuah karya sastra. Dengan permainan bahasa yang indah menjadikan sebuah karya sastra sangat menarik dan tak jarang pembaca menjadi larut dalam alur yang dipaparkan.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa novel karya Donny Dhirgantoro yang berjudul 5 cm benar-benar membenarkan pepatah yang berbunyi ‘Dengan membaca kau bisa berkeliling dunia’. Hal ini dikarenakan kepiawaian penulis dalam mendiskripsikan keadaan yang dituangkan dalam wujud kata. Pembaca seolah ikut dalam kisah yang dipaparkannya.
     Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasanya sendiri. Seorang penutur akan bertutur dengan cara berbeda jika berhadapan dengan dua golongan yang berbeda pula meskipun informasi yang disampaikannya sama. Segalanya tergantung pada objek.
     Di dalamnya digambarkan seorang tokoh yang melakukan dialog dengan tokoh  lain yang lebih tua dan dia hormati. Diceritakan Ian yang melakukan konsultasi dengan dosennya Sukonto Legowo untuk penyusunan skripsinya. “Iya, Pak. Saya baca buku dan ngerjain kerangka bab-bab selanjutnya supaya nanti bisa cepet. Tiap malem saya tidur larut sekali.” (5cm, hlm. 123). Bandingkan dengan dialog Ian dengan tokoh lain yang tak lain adalah komputer yang digunakannya menegtik skripsi, “Gue udah tau lo mau nyela gue dari tadi.” (5cm, hlm. 108) atau dengan dialog yang satu ini ketika Ian berbicara pada keempat sahabatnya “Gue nggak pernah punya temen kayak lo semua. Baik semuanya biarpun kadang-kadang kalian bego, tolol, dan nggak ber-perikeoranggendutan. Tapi kalian baiiiik semua....”
     Teori game dianggap mampu merefleksi realistis yang dituangkan dalam karya sastra, baik itu berupa cerita pendek, novel, puisi, pantun dan lainnya. Hal tersebut bisa tergambar dalam pemakaian permainan bahasa dalam kehidupan sehari-hari oleh suatu kelompok masyarakat yang dimasukkan ke dalam karya sastra.
     Dalam 5 cm yang menceritakan kehidupan lima anak muda Jakarta dalam menjalani kehidupan sehariannya yang sederhana namun dikemas dengan sangat ‘manis’. Penyebutan kata saya yang digantikan dengan kata gue, kata kamu dengan loe, kakak dipanggil mas atau abang. Dua contoh kata yang digunakan tersebut hanyalah sebagian kecil dari bahasa anak muda yang mereka gunakan pada lingkungannya yang diadaptasi dari bahasa Betawi yang merupakan kelompok masyarakat asli Jakarta. Di sinilah bahasa bisa menggambarkan keadaan realitas masyarakat yang terangkat dalam karya sastra.
     Yang menjadi masalah adalah jika tata bahasa yang digunakan dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan pada tempat yang menjadi latar cerita tersebut. Penggunaan kata loe atau gue tidak mungkin kita dapatkan pada karya yang diceritakan terjadi di Makassar atau Maluku. Kalau pun ditemukan hal demikian semestinya ada  penjelasan yang tertuang di dalamnya. Entah itu salah satu tokoh di dalamnya memang berasal dari Jakarta atau telah hidup lama di sana. Ketika kita menyaksikan Badik Titipan Ayah yang merupakan cerita tentang budaya Makassar dan tentunya berlatarbelakang daerang Makassar dan sekitarnya, tidak akan ditemukan kata loe atau abang meskipun sang aktor berasal dari Jakarta melainkan kata saya atau Daeng.
     Kegunaan praktis dari teori game adalah pembahasannya di sekitar masalah tata bahasa yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan merupakan elemen vital dalam melakukan aktivitas sosial. Sebagai teori yang digunakan untuk menganalisa bahasa, tentu saja teori game bisa digunakan dalam menganalisis bahasa bukan hanya dari segi kesusastraan saja.
     Karya sastra kanon yang terjadi sebagai kemelut zaman merupakan bentuk perwujudan perlawanan terhadap tindakan semena-mena terhadap suatu kelompok tertentu yang akhirnya bisa menbangkitkan semangat dan kepedulian sosial antar sesama. Namun pada akhirnya karya sastra kanon ini tersingkirkan oleh keberadaan advokasi atas hak dan kesadaran individu. Seseorang yang telah hidup terbiasa dengan segala sesuatu yang dikerjakannya sendiri akan berubah menjadi malas dan kehilangan kreatifitas ketika telah mengalami suatu proses ‘penyuapan’ atas ilmu yang sebelumnya dipelajari sendiri namun kini semuanya tersedia dalam sebuah bundel buku yang wajib mereka pelajari.
     Lambat laun karya sastra yang muncul semakin menunjukkan eksistensi individu dan kelompok yang tergambar di dalamnya. Indonesia sendiri memiliki sejarah kelam dimana sejumlah karya yang dihasilkan dicap ‘berbahaya’ dan ditarik dari pasar bahkan pada generasi jauh sebelumnya malah dibakar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peran pemerintah pada saat itu yang sangat keras dalam membatasi karya sastra yang dihasilkan oleh mereka yang disebut pemberontak.
     Dewasa ini dunia kesusastraan mulai diramaikan oleh beberapa nama baru yang berasal dari kaum muda yang tiap hari bermunculan satu demi satu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kepala kaum muda dibanjiri oleh imajinasi-imajinasi yang liar dan kemudian mereka tumpahkan dalam sebuah karya. Dan tingkat kreatifitas kaum muda tidak bisa dianggap sepeleh. Hal ini pula yang memungkin terjadinya pergeseran tata bahasa dari dunia kesusastraan yang sebelumnya dipenuhi oleh penulis-penulis ‘tua’ dengan bahasa melayu yang tak bisa lepas dari kehidupan mereka serta para penulis kontemporer dengan segala macam perlambangan yang mereka sajikan dalam karya mereka dan kemudian hadir pula para kaum muda dengan bahasa nyeleneh dan blak-blakan meskipun yang mereka sampaikan adalah sebuah kejujuran.
Keberadaan kaum muda dengan sastra pop belum mampu untuk menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Yang mereka sajikan adalah tampilan berbeda dari wajah sastra yang ada sebelum kehadiran mereka. Sastra pop tersaji dengan wajah kekinian dengan tema yang diusung sedikit lebih ‘fresh’ dan pemaparannya pun juga dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan sekarang.
Bagaimana pun modelnya, sebuah karya sastra akan senantiasa membuat perubahan dari masa ke masa dan tentu saja bisa dikatakan menjadi lebih baik.

Good Bye

Wednesday 25 May 2011
Kini tiba saatnya untuk menyatakan kemunduranku dari rasa yang telah lama kupenjara. Rasa yang telah begitu lama mengendap dan tak pernah bisa kubiarkan menguap. Aku begitu bodoh jika tak menerima kasih yang kau curahkan kepadaku tiada henti. Dan aku tak mau itu terjadi. Sekarang aku putuskan untuk tidak lagi mengungkung diriku dalam memoar luka yang berkepanjangan. Aku tak ingin lagi hidup dalam kenangan masa laluku dengannya. Aku menyerah. Penantian semuku terhadapnya seakan tak berujung. Kau menang kini. Kau berhasil menarikku keluar dari kenangan itu. Dan akan aku jalani semua yang ada kini. Tentu saja itu bersamamu.

Memang Hanya Sesaat

Iyah.. Lagi-lagi kau benar, kita memang sesaat. Hanya sesaat sayangku. Atau mungkin kau belum mampu mencernanya dengan baik? Karena sebenarnya belum ada kata kita diantara kita. Sesaat kita itu hanya untukmu.

Pertautan Hati

Thursday 28 April 2011

Nisa sudah berada di depan gerbang sejak sejam yang lalu dan Joe belum juga muncul dari balik pintu. Dengan jelas dia bisa mendengar puji-pujian dipanjatkan oleh jemaat dari dalam gedung. Dia terus menunggu tanpa sedikit pun kejenuhan. Dan sekali lagi ponsel kesayangannya menjadi teman setia yang selalu membantu melewati waktu sendirinya. Dia masih setia berdiri di gerbang dan sesekali menyandarkan diri pada tembok gerbang. Sepertinya penantiannya akan segera berakhir. Pintu utama gedung perlahan terbuka dan seseorang telah keluar dari sana. Hanya seorang dan dia bukan Joe. Nampak sedikit gurat kecewa pada air mukanya. Seseorang tadi lewat tepat di sampingnya, seorang lelaki yang usianya hampir mendekati paruh abad. Dia kira bapak tadi akan berlalu begitu saja, tapi ternyata dia menyadari kehadiran Nisa di depan gerbang.
      “Lho, ngapain di sini? Kok gak masuk nak?” bapak tadi bertanya ramah padanya.
      “Nunggu teman pak, lagi ibadah di dalam.” Nisa menjawab ramah dan sebuah senyuman untuk membalas keramahan yang dia terima.
      “Bukan jemaat sini yah?”sang bapak kembali bertanya dan kembali dijawab dengan sebuah senyum sebelum bapak tadi benar-benar pergi.
      Tak lama berselang, pintu utama gedung kembali terbuka dan kini lebih lebar dan satu dua jemaat mulai keluar dari dalamnya. Nisa mengenali sesosok yang berada di tengah kerumunan jemaat yang baru saja keluar gedung. Dia tampak rapi dengan kemeja hitam dan jeans berwarna sama dengan rambut yang disisir rapi. Dari jauh bibirnya menyungging senyum lalu menghampiri Nisa masih berdiri di tempat yang sama sebelum  dia masuk ke dalam gereja. Dia Joe. Joseph.
      Mereka pun berjalan meninggalkan gereja menuju suatu tempat favorit mereka. Sepeda motor Joe sengaja dia tinggal di sana. Mereka ingin menikmati kebersamaan mereka dengan berjalan kaki.
“Lama yah? Maaf yah Nis dah bikin kamu nunggu..”
“Nggak apa-apa kok, dari pada kamu gak ibadah lagi.”
“Kamu gak masalah nunggu saya di depan gereja?”Pertanyaan Joe memancing Nisa tertawa kecil.
“Apa yang perlu dipermasalahkan? Tempat ibadah juga.”
“Baguslah. Kamu gak risih nunggu di luar?”
“Kenapa harus risih sih? Dipandangi aneh sama orang, iya?”
“Iya. Kan masih banyak tuh orang kek gitu.”
“Tadi malah ada yang tanyain kenapa aku gak masuk.”
“Trus?”
“Yah,aku jawab pake senyum. Pertanyaan kayak gitu dah sering kali aku dapat.
“Maksudnya sering?” Joe meminta penjelasan.
“Ini bukan kali pertamanya aku nungguin orang di depan gereja. Dulu aku sering banget, hampir tiap minggu malah. Jadi kamu gak usah khawatir. Aku dah pengalaman.”
“Kok bisa?”
Nisa kembali memasang seyum termanisnya sebelum menjawab pertanyaan Joseph.
“Dulu waktu SMA aku pacaran sama kakak kelas aku. Dia anak seorang rahib dan dia sangat taat beribadah. Karena jadwal aku sangat padat di sekolah makanya waktu untuk dia cuma hari minggu dan dia nggak pernah absen ke gereja. Jadinya aku sering nungguin dia di depan gereja sebelum aku harus masuk kelas seni.”
“Tiap minggu?”
“Gak juga. Kan tadi aku bilang hampir tiap minggu. Kalo aku ada kepentingan yang mendesak yah gak mungkin lah aku nungguin dia ibadah.”
“Berapa lama kamu sama dia?”
“Gak lama kok, cuma sekitaran lima bulan aja.”
“Gila juga yah. Lumayan lama tuh Nis. Kamu jadi rajin ke gereja juga dong.”
“Iyah.. Lebih rajin dari Joe..” Nisa menyyenggol pelan lengan Joseph untuk mengganggunya.
“Kamu gak aneh hampir tiap minggu selama lima bulan nungguin dia di depan gereja, sedangkan kamu sendiri gak pernah masuk dalam gereja?”
“Kenapa mesti merasa aneh sih?”
“Yah, karena kamu-” belum juga Joseph menyelesaikan ucapannya langsung dipotong oleh Nisa.
“Karena aku seorang muslim jadi gak boleh nunggu di depan gereja?”
Nisa mengalihkan pandangan menatap Joseph yang membalasnya dengan diam. Selanjutnya perjalanan mereka diselimuti diam. Diam yang mengatup mulut mereka. Tak ada suara yang terdengar dari mereka selain hembusan napas yang sangat kecil. Sedang di kepala mereka bergelantungan berjuta kata yang kemudian terangkai menjadi tanya dan kalimat-kalimat yang belum juga bisa mereka lontarkan. Tersendat di tenggorokan masing-masing. Mereka sibuk dengan pikiran mereka namun tangan mereka tetap bertautan erat.
Di ujung jalan telah tampak sebuah jalan kecil berbatu. Mereka berbelok menapakinya menuju sebuah taman sempit yang mereka temukan suatu hari sewaktu Joseph hunting foto untuk pamerannya. Di tengahnya terdapat sebuah bangku yang sepertinya dibuat untuk sepasang manusia saja. Sangat sederhana dan belum terjamah. Itulah mengapa mereka menyukainya. Sepeda motor Joseph masih aman di sana.
Nisa terlebih dulu merapatkan pantatnya pada bangku kayu. Dilepasnya tas dari punggungnya kemudian dia buka untuk mengambil rokok. Disulutnya lalu diisap dalam. Dia begitu menikmatinya. Dia selalu saja melakukan hal yang sama setiap kali otaknya harus memikirkan hal berat yang tak pernah dia temukan ujungnya. Sama dengan perbincangannya tadi dengan Joseph sepulang dari gereja.
Setelah merasa sedikit tenang dan menemukan keberanian untuk kembali memulai pembicaraan dengan Jospeh, dia pun membuka mulut.
“Tau gak Joe?” dia menoleh pada Joseph yang kini duduk di sebelah kanannya.
“Apa?”
“Dari dulu tuh aku pengen banget melogikakan Tuhan. Tapi aku gak bisa.” Nadanya terdengar putus asa.
“Jangan pernah dipaksain. Tuhan itu gak pernah bisa kita jangkau. Cukup kita yakini saja keberadaannya.” Joseph menasihatinya diplomatis.
“Katanya Tuhan itu satu yah Joe.”
“Memang hanya satu Nisa. Cuma perwujudan tiap agama aja yang beda.”
“Kalau memang Tuhan itu satu, kenapa kita beda Joe?”
Pandangannya lurus ke depan, namun lagi-lagi Joseph menjawabnya dengan diam. Dan memberi jalan kepada Nisa untuk terus bercerita.
“Aku merasa gak diberi keadilan Joe.”
“Maksudmu?” Joseph menatapnya dalam.
“Agama tuh cuma warisan keluarga. Aku gak mungkin menjadi seorang muslim kalau aku gak terlahir dari keluarga besar muslim. Begitu juga kamu yang nasrani karena orang tuamu nasrani juga kan. Kenapa kita gak bisa milih agama kita sendiri? Aku sudah muslim sejak aku masih dalam kandungan. Sama halnya dengan kau Joe”
“Kamu gak usah bilang kayak gitu. Toh sekarang kita yakinin agama yang kita anut kan? Kita punya kesempatan untuk berpaling kalau keyakinan kita dah luntur pada apa yang kita yakini sekarang.”
“Karena telah ditanamkan dogma sejak kita kecil, sejak kita belum tahu apa-apa Joe. Mungkin sekarang aku masih yakini agamaku lah yang benar, meskipun aku gak pernah menjalankan kewajibanku. Tapi aku pikir apa pun agama yang aku peluk ujungnya bakal seperti ini juga. Kita akan tetap bertahan dengan keyakinan kita masing-masing.”
“Kamu gak pernah mau bahas masalah agama dan keyakinan seperti ini sebelumnya. Dulu kamu selalu menolak berbicara tentang ini.”
“Karena aku capek Joe. Ngomongin masalah keyakinan itu gak akan ada ujungnya. Sama seperti Tuhan yang gak terjangkau dan gak bisa kita logikakan. Ujung-ujungnya juga berakhir pada perdebatan sengit dimana kita akan tetap kekeh memertahankan keyakinan kita masing-masing. Aku sudah cukup sakit karena keyakinan Joe.”
“Apa maksudmu dengan sakit Nisa?”
“Dulu karena perbedaan keyakinan aku harus rela putus dengan pacarku. Bukan salah dia yang anak seorang rahib sedangkan aku lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim yang fanatik. Meskipun hanya cinta anak SMA tapi tetap aja sakit Joe. Setelah empat bulan pacaran keluargaku mengetahui bahwa tiap minggu aku nunggu dia ibadah di depan gereja. Yang pertama tahu sih teman Om aku yang dia tugaskan untuk ikut memantauku. Aku memang gak boleh pacaran sama Om aku yang satu itu. Sejak itu aku gak boleh lagi pacaran. Aku boleh berteman dengan siapa saja, tapi gak dengan pacaran. Katanya mereka ingin melindungiku. Mungkin memang benar, tapi mereka gak benar-benar tahu apa yang aku butuh.”
“Jadi karena kekecewaan itu yang membuatmu liberal seperti ini?”
“Liberal?” Nisa tertawa agak keras, terasa lucu mendengar kata itu.
“Iya. Sekarang kau cenderung melakukan apa yang kamu mau.”
“Semua yang aku lakukan bukan tanpa konsekuensi Joe. Aku merasa citra keluargaku yang religius menjadi beban berat untukku. Aku gak bisa mikul itu. Aku harus memakai jilbab sebelum merasa siap hanya untuk menjaga nama keluarga. Semuanya dibatasi Joe. Untungnya sekarang mereka lebih demokratis.”
“Jadi mereka membolehkan kamu untuk tidak beribadah? Tidak puasa? Shalat hanya dua kali setahun saja?”
“Ibadah adalah hubungan searah antara seorang hamba dan Tuhannya. Jadi apa yang aku lakukan dan apa yang tidak aku kerjakan semuanya aku yang akan tanggung. Bukan mereka. Dan mereka menghargai itu.”
“Dan soal rokok?”
“Merokok itu aku sendiri yang pilih. Toh aku sendiri yang merasakan dampaknya.”
“Kenapa kamu jadi memikirkan agama Nisa?”
“Entahlah. Karena ada yang aku takutkan Joe.”
“Dulu kamu selalu bilang sebaiknya Tuhan itu tak bernama. Kalau pun bernama cukup kita kenal dengan Tuhan saja. Aku pikir aku setuju denganmu.”
“Iya. Gak usah ada Allah, Jesus, atau Sang Hyang Widi dan Budha, Yahweh dan begitu banyak lagi nama Tuhan yang tak aku ketahui. Karena nama-nama itu yang selalu membuat kita bertikai.”
“Aku nggak pernah nyangka kamu juga memikirkan perbedaan yang ada di antara kita Nis. Aku kira kamu gak pernah peduli.”
Nisa diam seketika. Dia mendongakkan kepalanya pada langit yang berhias bintang satu-satu, dan bulan pun entah tersembunyi di mana. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Joseph yang refleks melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Nisa.
“Aku peduli sejak aku yakin aku butuh kamu Joe. Aku telah menjalin hubungan dengan dua cowok untuk akhirnya  menyadari bahwa yang aku butuh itu kamu bukan mereka yang selalu memintaku memilih antara mereka dan aturan-aturan kamu yang selalu aku jalani. Aturan itu gak akan ada kalau Joe juga gak pernah ada. Aku mau tangan kita tak pernah terlepas meski kita berada di dua perahu yang berbeda.”
Sejenak mereka saling pandang sebelum akhirnya Nisa kembali merebahkan kepalanya di bahu Joseph yang melingkarkan tangannya pada pinggang Nisa. Pandangan mereka menerawang menembus langit malam yang tak pernah bisa mereka gapai dengan tangan mereka yang senantiasa saling bertautan.