Digiring Hujan

Friday 28 January 2011

      Di luar sana hujan. Titik-titik air membentuk garis pada kaca jendela kamar. Aku masih betah bermalasan di tempat tidur dengan selimut yang menutupi setengah tubuhku. Hampir setengah dua belas siang dan aku belum membersihkan diri. Entah sudah berapa kali Mama memintaku keluar kamar untuk makan. Aku tak pernah bangun terlambat. Hanya saja aku lebih suka berdiam diri di tempat tidur jika memang tak harus kemana-mana. 
      Aku memeluk guling tanpa melepaskan sebuah novel yang kubaca sejak semalam sebelum tidur. Masih menyisahkan setengah dari sisa bacaan semalam. Dulu aku bisa melahap sebuah novel dengan halaman berjumlah dua tiga ratusan selama semalam. Tapi, kini tak lagi. Bukan karena tak sanggup membaca lama hingga larut, tapi aku harus tidur cepat sebelum pukul sebelas malam. Aku terus membaca novelku dengan tubuh miring membelakangi pintu dan tanpa sadar Mama memasuki kamar dengan segelas susu cokelat yang diletakkannya di atas meja belajar diikuti adik kecilku yang nakal. Mama keluar kamar tanpa berucap apa-apa, sedang si kecil mulai mengusik sibukku dengan bacaanku.
“Minum susu dulu!” bibir kecilnya berbicara lancar sambil menunjuk segelas susu di meja lalu mencium pipiku. Salah satu cara yang selalu dilakukannya untuk membangunkanku dari tidur dengan terus menciumiku.
Aku beringsut bangkit meraih gelas besar berisi susu cokelat hangat kesukaanku. Adikku tak berhenti memandangiku yang begitu lahap meneguk susu seperti orang kehausan. Susu cokelat tak aku habiskan dalam sekali teguk. Aku sedikit terganggu oleh tatapan adikku.
“Kamu mau juga Am?” tanyaku padanya yang kemudian menggeledah buku-bukuku yang berserakan di tempat tidur.
“Gak. Iam punya susu sendiri.” Katanya memperihatkan botol susunya yang kini hampir kosong.
“Dah mandi?” tanyanya kujawab dengan gelengan kepala.
Aku kembali melanjutkan bacaanku, tapi bukan di tempat tidur lagi. Aku duduk di lantai dan bersandar pada tepi ranjang. Aku terus membaca hingga menyisahkan beberapa puluh halaman lagi. Iam kembali menggangguku dengan menarik rambutku kemudian menyerahkan handphoneku yang tadinya aku letakkan di samping bantal. Panggilan masuk yang entah dari siapa. Nomornya tidak tersave di memory handphoneku. “Siapa yah?” aku melontarkan pertanyaan untuk diriku sendiri. Tanpa pikir panjang aku menekan tombol answer.
“Ya, halo. Siapa ini?” dia tak menjawabku sama sekali, hanya menyebut namaku. Sura perempuan
“Iya, saya sendiri. Ini dengan siapa yah?”
      Agak ribut kedengaran di seberang sana. Aku sendiri tak bisa mendengarnya jelas karena memang signal di kamarku kurang bagus. Aku berdiri meninggalkan kamar yang sudah tambah berantakan karena tangan jahil Iam. Aku menuju teras depan. Terdengar suara seorang lelaki yang tak asing di telingaku. Hatiku sesaat berdesir mendengarnya. Hanya beberapa menit lamanya lalu kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan diikuti gambaran di masa lalu.
“Ini aku. Kau ingat?” suaranya terdengar jelas. Sangat jelas. Aku menjatuhkan pantatku di kursi beranda, tak percaya pada apa yang aku dengar. Bisaku hanya diam. Mematung dengan tangan masih memegang handphone yang kutempelkan pada telinga kananku.
“Apa kau sudah lupa padaku?” suaranya kembali terdengar lebih keras. Aku tidak lupa. Mana mungkin aku lupa padanya. Aku hanya tak percaya dia menghubungiku setelah waktu yang cukup lama kami tak lagi saling mengabari. Suaranya tetap sama. Nada bicaranya sama. Bahkan candanya masih tetap sama.
“Ooo kamu toh.” Hanya itu kalimat yang bisa terucap. Meskipun ada begitu banyak tanya yang ingin kulontarkan padanya. Ada begitu banyak hujatan yang belum sempat aku teriakkan padanya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Aku berusaha menjawabnya singkat dan sewajarnya. Dengan nada datar tanpa ekspresi apa-apa. Aku mencoba untuk biasa saja dan nyatanya aku bisa tanpa perlu berpura-pura. Mungkin waktu telah melunturkan semua yang pernah aku rasakan.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Baik. Sekarang lagi libur.” Aku tak lagi merasa perlu menjelaskannya panjang lebar akan kuliahku yang berantakan semester ini. Tentang kemungkinan nilaiku yang anjlok dan akan mengurangi IPK-ku. Semua tak perlu lagi. Toh dia tak akan peduli lagi pada kuliahku. Dia tak akan ngotot memintaku untuk menyelesaikan kuliahku dengan cepat yang akhirnya berujung pada pertengkaran karena aku ingin menikmati waktuku menjadi seorang mahasiswa yang tidak terpaku pada kegiatan perkuliahan yang membosankan. Dia menuntut agar aku bisa sepertinya. Menyelesaikan kuliah tepat waktu dan lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Aku merasa memiliki otak yang mampu melakukan semua itu. Hanya saja aku tak ingin menjadi orang yang ambisius dan individualis lagi.
“Tadi kamu ngapain?”
“Baca buku.”
“Sepertinya selama setahun lebih kita tak berkomunikasi banyak yang berubah dan ada juga yang tetap sama.”
“Maksudnya?” aku bertanya dengan benar-benar tak mengerti.
“Kamu masih sama dengan dulu. Suka baca buku. Bete dikit aja pengennya ke toko buku. Tapi ada yang berubah. Kamu jadi dingin. Kalo ngomong irit banget padahal kamu kan cerewetnya minta ampun. Kenapa sih? Kamu sakit?”
“Aku sehat kok”
“Kamu gak pernah lagi ke rumah?”
“Gak lagi. Terakhir enam bulan yang lalu kalo gak salah. Kenapa?”
“Gak papa kok. Pengen tanya aja. Jangan sampai silaturahmi terputus. Mama dah anggap kamu sepertin anaknya sendiri.”
“Iyah.”
Aku kembali menjawab singkat. Tak bisa aku pungkiri berada di tengah-tengah keluarganya membuatku nyaman. Aku diterima dengan sangat baik oleh orang tua dan kedua adiknya. Masa-masa itu sangat manis. Aku bahkan telah tinggal bersama mereka beberapa waktu. Aku tahu mereka akan dengan sangat senang menyambutku di rumahnya meskipun kini dengan kondisi yang jauh berbeda.
“Kamu dah nikah?” pertanyaan itu tiba-tiba melompat begitu saja dan aku tak mampu lagi mencegahnya.
“Belum. Kenapa?”
“Gak kenapa-napa. Kok belum sih? Lama banget.”
“Aku masih ngumpulin uang untuk kehidupanku nanti. Dia juga mungkin belum siap. Doakan saja tahun depan jadi nikahnya.”
“Iyah aku doain.”
Kalimatnya begitu ringan terlontar. Ada nada riang terdengar di sana. Dia begitu semangat. Aku pikir itu bagus, dia harus mempersiapkan bekal untuk kehidupan keluarganya nanti. Seorang yang bertanggung jawab. Aku seakan terseret pada lorong-lorong pengap dan kembali pada waktu yang lalu dimana kenangan itu berada.
“Kalau kamu?”
“Aku?”tanyanya kujawab dengan pertanyaan pula. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksud “kalau kamu?”.
“Iyah, kamu. Sudah ada penggantiku?”
Mampuku hanya kembali diam. Aku menghembuskan nafas agak panjang. Meski sekarang aku tak lagi punya perasaan yang dulu padanya, aku tak bisa bohong kalau dialah satu-satunya lelaki yang pernah begitu aku cintai. Walaupun setelahnya ada beberapa nama yang berganti.
“Dulu ada. Tapi sekarang dah nggak lagi.”
“Cepat banget. Kok putus sih.”
“Kami cuma bisa sebulan. Aku gak harus bilang kan penyebab kami putus?”
“Maaf yah.”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf karena aku dah tanya gitu.”
“Gak perlu minta maaf kali. Cuma nanya gitu juga. Kata maaf gak lagi punya makna di telingaku. Dulu kau pernah bikin aku sakit banget tapi gak minta maaf sampai sekarang.”
“Kalo masalah itu aku-”
“Minta maaf...” aku memotongnya tiba-tiba.
“Belum ada yang bisa ngalahin aku yah?”
“Maksudmu apa?” aku tiba-tiba jengkel.
“Belum ada yang lebih lama dari aku? Kita kan satu setengah tahun.”
“Iyah.” Kembali kujawab singkat. Karena memang bersamanyalah aku pacaran paling lama dan mungkin karena itu pula aku butuh waktu yang lama untuk mengobati perihku.
“Pilih lelaki yang baik. Jangan seperti aku. Pengecut.”
“Iyah.”
Monday 17 January 2011
Terlahir dalam senja yang mendung
Sendiri meresapi kelumpuhan hidup
Dan kini terlelap di bawah gelapnya kolong langit
Adakah jiwa yang hendak beranjak?


Pendurhaka Katanya

Tuesday 4 January 2011
                Ambulance tiba sekitar setengah jam mendahului kami. Dari jauh tampak telah ada begitu banyak kendaraan terparkir di depan rumah. Dan benar setiba di depan rumah kakek, halaman telah dipenuhi keluarga dan kerabat. Aku keluar dari mobil yang dikendarai omku yang membawaku beserta tante dan saudaraku yang lain. Jaket yang sedari tadi hanya kuletakkan di pangkuan selama perjalanan segera kukenakan. Aku menapak jalan berbatu menuju rumah. Halaman kakek cukup luas. Aku berjalan menunduk namun masih bisa mendapati beberapa pasang mata keluarga dan kerabat mengekori sosokku. Seorang adik sepupuku menghambur dan memelukku. Aku hanya mengusap rambutnya lembut. Pandangan aku tujukan ke depan. Aku menangkap sesosok tinggi di depan pintu dengan tatapan tajam mengutuk. Dialah bapakku. Di teras rumah juga dipenuhi keluarga yang berekspresi sama. Namun tampak larut dalam cerita mereka meski dengan mata yang sembab dan basah oleh air mata. Kembali kupergoki beberapa pasang mata mereka memerhatikanku dari kaki hingga ujung kepala.
            Aku berlalu memasuki rumah melewati bapak yang tetap berdiri masih dengan tatapan yang sama.  Suara tangis terdengar lebih jelas. Nenek adik dari kakek berjalan seok mendekati jenazah kakek, memeluknya dengan tetap menangis meratap pilu kepergian kakaknya dan tiba-tiba pingsan di samping jasad kakek. Beberapa tante dan sepupuku berhambur mendekati nenek dan mengangkatnya masuk ke kamar. Aku masih berdiri bak patung di tengah kerumunan orang yang duduk sambil menceritakan semua kebaikan kakek semasa hidupnya. Mataku menyisir sekeliling ruang tengah rumah kakek. Nenek istri kakek duduk lesu di dekat jenazah kakek. Kepalanya disandarkan di dinding. Matanya menatap datar ke depan. Aku masih mematung tanpa beranjak mendekati jenazah kakek hingga seorang kakak sepupuku menggamitku meninggalkan ruang tengah menuju kamar di mana nenek dibawa tadi.
            Di atas tempat tidur nenek telah dikelilingi beberapa sepupu dan tanteku. Nenek sendiri sudah mulai siuman dan menyadari keberadaanku di kamar itu.
            “Duduk nak.” Katanya memukul pelan kasur di samping tempatnya duduk. Aku nurut dan mendekatinya. Seorang sepupuku bergeser memberiku tempat.
            “Kamu sudah melihat kakekmu? Tadi kamu sempat dari rumah sakit?” aku menjawabnya dengan anggukan.
            “Dia ada di samping om waktu sakratul maut.” Tanteku menjawab nenek namun pandangannya tak lepas dariku.
            “Kenapa kau sama sekali tak kehilangan? Sadar tidak kenapa kakek masuk rumah sakit sampai meninggal begini?” sepupuku yang paling tua menatapku tajam penuh amarah. Dia mmengguncangkan tubuhku dengan mencengkram kedua bahuku yang memaksaku untuk bersuara.
            “Aku tak perlu menagis sampai mataku bengkak baru dikatakan sedih dan kehilangan kan?” suaraku pelan dan datar. Pandanganku lurus pada ubin dimana kakiku kusilangkan. Entah ada apa pada lantai itu.
            “Kamu memang berhati batu.” Hardiknya lagi. Aku hanya berlindung pada diamku.
            “Sudahlah Ta, bukan salah dia juga kakek meninggal. Mungkin jalan hidup kakekmu memang seperti itu.” Tanteku menengahi dan mengelus punggungku lembut. Tapi kak Anita masih kekeh tak terima aku dibela.
            “Aku percaya tante semua punya jalan hidup masing-masing, begitu juga kakek. Tapi penyebab kakek meninggal kan dia.” Telunjuknya tanpa ragu diacungkan padaku. “Dia terlalu merasa dimanja jadi berbuat seenak hatinya. Dia memang yang paling pintar dan selalu bikin keluarga bangga dengan prestasinya. Jadi cucu kesayangan kakek yang selalu dibela. Tapi lihat balasan yang dia beri untuk semua kasih sayang kakek padanya. Kematian.”
            Aku tak bisa menahan diri lagi disebut-sebut sebagai penyebab kematian kakek.
            “Bukan salah aku jadi paling pintar dari kalian sampai kakek menuruti semua keinginanku. Kalian saja yang bodoh tidak mau belajar. Kalian terlalu banyak main dan pacaran.” Mereka hanya diam pun nenek. Tak lama kak Anita tiba-tiba berdiri.
“Lihat dia sekarang nek.” Dia menatap nenek seolah meminta dukungan darinya. “Dia sudah dengan berani berbicara keras kepadaku. Bahkan Lucy saja yang cuma muda setahun dariku tak pernnah melakukannya. Dia sudah sangat congkak dan tak lagi menghargai kakek dan keluarga ini.”
            “Kata siapa aku tak menghargai kakek dan keluarga? Kata siapa hah?” emosiku terpancing dan tak mampu lagi aku kontrol.
            Kak Anita menatapku tajam dari kaki hingga rambut “Lihat dirimu sekarang! Datang ke rumah kakek di hari dia meninggal dengan pakaian seperti ini. Jeansmu lusuh robek disana-sini. Kaosmu kebesaran seperti punya orang lain saja. Apa kata orang jika melihat penampilanmu seperti ini? Nanti dikiranya om tak bisa membelikanmu pakaian yang pantas. Dan ini..” dia menggenggam tangan kananku dan menyingkap lengan jaketku, “... kau sudah berani memasang tatoo di tubuhmu.  Kau sudah benar-benar mencoreng nama keluarga kita.”
            Aku semakin terpancing, darahku kian mendidih.
            “Memang kenapa kalo aku memakai baju seperti ini? Aku nyaman berpakaian seperti ini. Toh bukan uang Kak Ta kan yang aku pakai. Kenapa juga kalau aku bertatoo? Ini seni kak. Kak Bobby sendiri bisa, kenapa saya tidak? Apa karena dia laki-laki dan aku perempuan? Mempermalukan keluarga bagaimana? Aku kan gak hamil di luar nikah?” pertanyaan terakhirku sengaja aku beri tekanan dan melirik ke Dian, adik sepupuku yang harus nikah muda karena MBA.
            “Sudahlah gak usah bawa-bawa orang lain sekarang.” Suara kak Anita kian meninggi sampai seorang kerabat menegur kami karena pertengkaran kami terdengar hingga ruang tengah. Dia kembali berargument dengan suara yang sedikit direndahkan.
            “Sekarang lihat Bobby bagaimana, apa dia masih diterima di keluarga ini? Dan kau. Apa kau tak pernah berpikir telah membuat bapakmu malu dan keluarga ini tercemar?”
            “Aku gak pernah meminta dilahirkan di keluarga ini. Dari luar nampak harmonis, semua begitu indah karena kemewahan dan nama yang terpandang. Tapi apa jadinya? Aku gak pernah bisa menjadi diriku seutuhnya. Aku harus punya otak yang encer untuk bisa kuliah di dua tempat sekaligus. Bukan untuk diriku, tapi untuk keluarga ini yang sudah memilihkan jalan hidup yang aku gak suka tapi tetap aku jalani. Kak Ta gak pernah tahu gimana rasanya punya bapak yang otoriter seperti bapakku. Untungnya masih ada ibuku yang demokratis. Jadinya aku kuliah yang aku mau. Kalian gak pernah tahu benar apa yang aku mau. Kalian gak bisa terima aku yang sebenarnya. Bukan aku yang keluarga ini bentuk. Aku cuma ingin menentukan jalan hidupku sendiri.” Tak sadar suaraku serak, air mataku meleleh dan semakin deras membentuk pancuran di daguku. “Jadi tolong jangan bilang kalau aku yang menyebabkan kakek meninggal. Dia meninggal karena keinginannya. Karena keras kepalanya. Salah dia sendiri tak memberiku privacy.”
            Aku merasa puas memuntahkan semuanya. Semua kata yang dari dulu ingin aku teriakkan namun tak pernah bisa. Aku meraih tas yang tadi kubiarkan tergeletak di lantai lalu keluar meninggalkan mereka. Aku terhenti sejenak memandang jenazah kakek melemparkan senyum padanya lalu pergi meninggalkan rumah kakek yang masih sangat ramai. Di halaman bapakku masih menatapku tajam namun berlalu masuk ke dalam.
            Rumah kakek tak lagi tampak di ujung jalan. Taksi membawaku menjauh. Supir taksi entah telah berapa kali menanyakan tujuanku kujawab dengan diam. Aku berperang dengan batinku. Apa benar kakek meninggal karenaku. Semakin aku berusaha mencari jawabannya semakin jelas pula bayangan malam itu di kepalaku.
            Seperti biasa aku pulang lewat tengah malam. Aku mulai menikmati hari-hari bebasku selama bapak dan ibu di luar kota untuk beberapa waktu lamanya. Jalan-jalan keliling kota sampai subuh.ngopi di kedai kecil di pinggir jalan hingga makan bersama para gembel di jalanan. Aku ingin mencoba merasakan hidup seperti itu, makan setelah berhasil memeroleh uang hasil keringat sendiri. Bukan menjadi seorang putri yang semua keinginanya dipenuhi namun kebebasannya harus dibarter dengan segala macam aturan keluarga.
            Aku tak lagi sungkan merokok di rumah, meskipun sebelumnya sering aku lakukan di dalam kamar. Dengan sembunyi-sembunyi pastinya. Malam itu menjelang subuh. Aku sudah cukup puas dengan petualanganku malam itu dengan memperhatikan kejamnya hidup kota pada orang-orang kecil. Aku membuka pintu dengan sebatang rokok yang belum juga habis di tangan. Aku memerhatikan lengan kananku. Aku begitu suka melihat tatoo yang baru aku buat seminggu yang lalu. Lukanya masih terasa. Setelah pintu kembali kukunci lampu ruang tengah aku nyalakan. Karena kantuk berat aku mengucek mataku saat menemukan sosok yang sedang duduk di sofa. Seorang tua yang aku kenal. Di hadapannya terdapat sebuah asbak yang dipenuhi puntung rokokku. Dan beberapa bungkus lagi yang seingatku aku simpan di kamar.
            “Dari mana saja kau pulang pagi?”
            “Jalan-jalan kek, liat dunia luar.” Jawabku lemah. Aku tahu aku dalam masalah. Tapi biarlah aku telah lama menantikan pembangkangan ini.
            “Anak gadis baik-baik gak mungkin berada di luar rumah sampai pagi begini.”
            “Aku bisa jaga diri kek. Aku masih gadis yang baik meskipun berada di jalan di pagi buta.”
            “Keluyuran di jalan dengan mengisap rokok?”
            Nada suara kakek mulai meninggi. Tangannya sesekali memegangi dadanya sebelah kiri. Aku lalu mematikan rokokku pada asbak di atas meja dengan tangan kananku dan tentunya tatoo baruku terpampang jelas di depannya.
            “Ya ampun kamu bertatoo” suaranya meninggi diikuti tekanan tangannya pada dada yang kian kuat pula. Dia berbicara terbata menahan rasa sakit pada dadanya.
            “Kamu bukan lagi cucu kesayangan kakek yang...”
            Belum sempat menyelesaikan kalimat kekecewaanya kakek akhirnya tumbang jatuh ke lantai. Jantungnya kambuh. Dan yang bisa aku lakukan hanya menelpon ambulance dan melarikannya ke rumah sakit.

28 Desember 2010
06:58 pm