Pertautan Hati

Thursday 28 April 2011

Nisa sudah berada di depan gerbang sejak sejam yang lalu dan Joe belum juga muncul dari balik pintu. Dengan jelas dia bisa mendengar puji-pujian dipanjatkan oleh jemaat dari dalam gedung. Dia terus menunggu tanpa sedikit pun kejenuhan. Dan sekali lagi ponsel kesayangannya menjadi teman setia yang selalu membantu melewati waktu sendirinya. Dia masih setia berdiri di gerbang dan sesekali menyandarkan diri pada tembok gerbang. Sepertinya penantiannya akan segera berakhir. Pintu utama gedung perlahan terbuka dan seseorang telah keluar dari sana. Hanya seorang dan dia bukan Joe. Nampak sedikit gurat kecewa pada air mukanya. Seseorang tadi lewat tepat di sampingnya, seorang lelaki yang usianya hampir mendekati paruh abad. Dia kira bapak tadi akan berlalu begitu saja, tapi ternyata dia menyadari kehadiran Nisa di depan gerbang.
      “Lho, ngapain di sini? Kok gak masuk nak?” bapak tadi bertanya ramah padanya.
      “Nunggu teman pak, lagi ibadah di dalam.” Nisa menjawab ramah dan sebuah senyuman untuk membalas keramahan yang dia terima.
      “Bukan jemaat sini yah?”sang bapak kembali bertanya dan kembali dijawab dengan sebuah senyum sebelum bapak tadi benar-benar pergi.
      Tak lama berselang, pintu utama gedung kembali terbuka dan kini lebih lebar dan satu dua jemaat mulai keluar dari dalamnya. Nisa mengenali sesosok yang berada di tengah kerumunan jemaat yang baru saja keluar gedung. Dia tampak rapi dengan kemeja hitam dan jeans berwarna sama dengan rambut yang disisir rapi. Dari jauh bibirnya menyungging senyum lalu menghampiri Nisa masih berdiri di tempat yang sama sebelum  dia masuk ke dalam gereja. Dia Joe. Joseph.
      Mereka pun berjalan meninggalkan gereja menuju suatu tempat favorit mereka. Sepeda motor Joe sengaja dia tinggal di sana. Mereka ingin menikmati kebersamaan mereka dengan berjalan kaki.
“Lama yah? Maaf yah Nis dah bikin kamu nunggu..”
“Nggak apa-apa kok, dari pada kamu gak ibadah lagi.”
“Kamu gak masalah nunggu saya di depan gereja?”Pertanyaan Joe memancing Nisa tertawa kecil.
“Apa yang perlu dipermasalahkan? Tempat ibadah juga.”
“Baguslah. Kamu gak risih nunggu di luar?”
“Kenapa harus risih sih? Dipandangi aneh sama orang, iya?”
“Iya. Kan masih banyak tuh orang kek gitu.”
“Tadi malah ada yang tanyain kenapa aku gak masuk.”
“Trus?”
“Yah,aku jawab pake senyum. Pertanyaan kayak gitu dah sering kali aku dapat.
“Maksudnya sering?” Joe meminta penjelasan.
“Ini bukan kali pertamanya aku nungguin orang di depan gereja. Dulu aku sering banget, hampir tiap minggu malah. Jadi kamu gak usah khawatir. Aku dah pengalaman.”
“Kok bisa?”
Nisa kembali memasang seyum termanisnya sebelum menjawab pertanyaan Joseph.
“Dulu waktu SMA aku pacaran sama kakak kelas aku. Dia anak seorang rahib dan dia sangat taat beribadah. Karena jadwal aku sangat padat di sekolah makanya waktu untuk dia cuma hari minggu dan dia nggak pernah absen ke gereja. Jadinya aku sering nungguin dia di depan gereja sebelum aku harus masuk kelas seni.”
“Tiap minggu?”
“Gak juga. Kan tadi aku bilang hampir tiap minggu. Kalo aku ada kepentingan yang mendesak yah gak mungkin lah aku nungguin dia ibadah.”
“Berapa lama kamu sama dia?”
“Gak lama kok, cuma sekitaran lima bulan aja.”
“Gila juga yah. Lumayan lama tuh Nis. Kamu jadi rajin ke gereja juga dong.”
“Iyah.. Lebih rajin dari Joe..” Nisa menyyenggol pelan lengan Joseph untuk mengganggunya.
“Kamu gak aneh hampir tiap minggu selama lima bulan nungguin dia di depan gereja, sedangkan kamu sendiri gak pernah masuk dalam gereja?”
“Kenapa mesti merasa aneh sih?”
“Yah, karena kamu-” belum juga Joseph menyelesaikan ucapannya langsung dipotong oleh Nisa.
“Karena aku seorang muslim jadi gak boleh nunggu di depan gereja?”
Nisa mengalihkan pandangan menatap Joseph yang membalasnya dengan diam. Selanjutnya perjalanan mereka diselimuti diam. Diam yang mengatup mulut mereka. Tak ada suara yang terdengar dari mereka selain hembusan napas yang sangat kecil. Sedang di kepala mereka bergelantungan berjuta kata yang kemudian terangkai menjadi tanya dan kalimat-kalimat yang belum juga bisa mereka lontarkan. Tersendat di tenggorokan masing-masing. Mereka sibuk dengan pikiran mereka namun tangan mereka tetap bertautan erat.
Di ujung jalan telah tampak sebuah jalan kecil berbatu. Mereka berbelok menapakinya menuju sebuah taman sempit yang mereka temukan suatu hari sewaktu Joseph hunting foto untuk pamerannya. Di tengahnya terdapat sebuah bangku yang sepertinya dibuat untuk sepasang manusia saja. Sangat sederhana dan belum terjamah. Itulah mengapa mereka menyukainya. Sepeda motor Joseph masih aman di sana.
Nisa terlebih dulu merapatkan pantatnya pada bangku kayu. Dilepasnya tas dari punggungnya kemudian dia buka untuk mengambil rokok. Disulutnya lalu diisap dalam. Dia begitu menikmatinya. Dia selalu saja melakukan hal yang sama setiap kali otaknya harus memikirkan hal berat yang tak pernah dia temukan ujungnya. Sama dengan perbincangannya tadi dengan Joseph sepulang dari gereja.
Setelah merasa sedikit tenang dan menemukan keberanian untuk kembali memulai pembicaraan dengan Jospeh, dia pun membuka mulut.
“Tau gak Joe?” dia menoleh pada Joseph yang kini duduk di sebelah kanannya.
“Apa?”
“Dari dulu tuh aku pengen banget melogikakan Tuhan. Tapi aku gak bisa.” Nadanya terdengar putus asa.
“Jangan pernah dipaksain. Tuhan itu gak pernah bisa kita jangkau. Cukup kita yakini saja keberadaannya.” Joseph menasihatinya diplomatis.
“Katanya Tuhan itu satu yah Joe.”
“Memang hanya satu Nisa. Cuma perwujudan tiap agama aja yang beda.”
“Kalau memang Tuhan itu satu, kenapa kita beda Joe?”
Pandangannya lurus ke depan, namun lagi-lagi Joseph menjawabnya dengan diam. Dan memberi jalan kepada Nisa untuk terus bercerita.
“Aku merasa gak diberi keadilan Joe.”
“Maksudmu?” Joseph menatapnya dalam.
“Agama tuh cuma warisan keluarga. Aku gak mungkin menjadi seorang muslim kalau aku gak terlahir dari keluarga besar muslim. Begitu juga kamu yang nasrani karena orang tuamu nasrani juga kan. Kenapa kita gak bisa milih agama kita sendiri? Aku sudah muslim sejak aku masih dalam kandungan. Sama halnya dengan kau Joe”
“Kamu gak usah bilang kayak gitu. Toh sekarang kita yakinin agama yang kita anut kan? Kita punya kesempatan untuk berpaling kalau keyakinan kita dah luntur pada apa yang kita yakini sekarang.”
“Karena telah ditanamkan dogma sejak kita kecil, sejak kita belum tahu apa-apa Joe. Mungkin sekarang aku masih yakini agamaku lah yang benar, meskipun aku gak pernah menjalankan kewajibanku. Tapi aku pikir apa pun agama yang aku peluk ujungnya bakal seperti ini juga. Kita akan tetap bertahan dengan keyakinan kita masing-masing.”
“Kamu gak pernah mau bahas masalah agama dan keyakinan seperti ini sebelumnya. Dulu kamu selalu menolak berbicara tentang ini.”
“Karena aku capek Joe. Ngomongin masalah keyakinan itu gak akan ada ujungnya. Sama seperti Tuhan yang gak terjangkau dan gak bisa kita logikakan. Ujung-ujungnya juga berakhir pada perdebatan sengit dimana kita akan tetap kekeh memertahankan keyakinan kita masing-masing. Aku sudah cukup sakit karena keyakinan Joe.”
“Apa maksudmu dengan sakit Nisa?”
“Dulu karena perbedaan keyakinan aku harus rela putus dengan pacarku. Bukan salah dia yang anak seorang rahib sedangkan aku lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim yang fanatik. Meskipun hanya cinta anak SMA tapi tetap aja sakit Joe. Setelah empat bulan pacaran keluargaku mengetahui bahwa tiap minggu aku nunggu dia ibadah di depan gereja. Yang pertama tahu sih teman Om aku yang dia tugaskan untuk ikut memantauku. Aku memang gak boleh pacaran sama Om aku yang satu itu. Sejak itu aku gak boleh lagi pacaran. Aku boleh berteman dengan siapa saja, tapi gak dengan pacaran. Katanya mereka ingin melindungiku. Mungkin memang benar, tapi mereka gak benar-benar tahu apa yang aku butuh.”
“Jadi karena kekecewaan itu yang membuatmu liberal seperti ini?”
“Liberal?” Nisa tertawa agak keras, terasa lucu mendengar kata itu.
“Iya. Sekarang kau cenderung melakukan apa yang kamu mau.”
“Semua yang aku lakukan bukan tanpa konsekuensi Joe. Aku merasa citra keluargaku yang religius menjadi beban berat untukku. Aku gak bisa mikul itu. Aku harus memakai jilbab sebelum merasa siap hanya untuk menjaga nama keluarga. Semuanya dibatasi Joe. Untungnya sekarang mereka lebih demokratis.”
“Jadi mereka membolehkan kamu untuk tidak beribadah? Tidak puasa? Shalat hanya dua kali setahun saja?”
“Ibadah adalah hubungan searah antara seorang hamba dan Tuhannya. Jadi apa yang aku lakukan dan apa yang tidak aku kerjakan semuanya aku yang akan tanggung. Bukan mereka. Dan mereka menghargai itu.”
“Dan soal rokok?”
“Merokok itu aku sendiri yang pilih. Toh aku sendiri yang merasakan dampaknya.”
“Kenapa kamu jadi memikirkan agama Nisa?”
“Entahlah. Karena ada yang aku takutkan Joe.”
“Dulu kamu selalu bilang sebaiknya Tuhan itu tak bernama. Kalau pun bernama cukup kita kenal dengan Tuhan saja. Aku pikir aku setuju denganmu.”
“Iya. Gak usah ada Allah, Jesus, atau Sang Hyang Widi dan Budha, Yahweh dan begitu banyak lagi nama Tuhan yang tak aku ketahui. Karena nama-nama itu yang selalu membuat kita bertikai.”
“Aku nggak pernah nyangka kamu juga memikirkan perbedaan yang ada di antara kita Nis. Aku kira kamu gak pernah peduli.”
Nisa diam seketika. Dia mendongakkan kepalanya pada langit yang berhias bintang satu-satu, dan bulan pun entah tersembunyi di mana. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Joseph yang refleks melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Nisa.
“Aku peduli sejak aku yakin aku butuh kamu Joe. Aku telah menjalin hubungan dengan dua cowok untuk akhirnya  menyadari bahwa yang aku butuh itu kamu bukan mereka yang selalu memintaku memilih antara mereka dan aturan-aturan kamu yang selalu aku jalani. Aturan itu gak akan ada kalau Joe juga gak pernah ada. Aku mau tangan kita tak pernah terlepas meski kita berada di dua perahu yang berbeda.”
Sejenak mereka saling pandang sebelum akhirnya Nisa kembali merebahkan kepalanya di bahu Joseph yang melingkarkan tangannya pada pinggang Nisa. Pandangan mereka menerawang menembus langit malam yang tak pernah bisa mereka gapai dengan tangan mereka yang senantiasa saling bertautan.

Kelinci dan Kura-kura

      Siang tak begitu terik. Belakangan cuaca sangat tidak menentu. Sama sekali tak bisa diprediksi. Sewaktu langit sangat cerah dengan awan yang nampak indah pada birunya langit yang terang dan tiba-tiba gerombolan air tumpah tanpa ba-bi-bu terlebih dulu. Beberapa gerombolan mahasiswa menuruni tangga dengan riuh perbincangan mereka. Kuliah kedua hari itu baru saja berakhir. Mereka nampak berjalan satu-satu menuju kantin.
      Kantin sangat ramai seperti biasanya. Tiap bangku penuh bahkan bangku pada bagian luar kantin juga terisi. Sekelompok mahasiswi celingukan menyisir seluruh kantin mencari tempat yang kosong, namun hasilnya nihil. Mereka mahasiswi sastra. Salah satu kelompok mahasiswi yang terkenal gaul dan modis tentunya. Setelan mereka pun nyaris sama. Dengan kemeja transparan dan dalaman you can see hitam, celana jeans model botol, sepatu teplek berwarna polos serta tas tangan yang nampak berat untuk ukuran badan kurus langsing mereka. Bisa diduga isi dalam tasnya sangat banyak. Peralatan kosmetik yang sangat lengkap, mulai dari bedak, foundation, eye liner, maskara, perona bibir seperti lipstik, lip  gloss dan lip balm. Tak ketinggalan alat pelentik bulu mata. Tidak hanya itu, sebungkus bantalan tissue juga tak pernah ketinggalan dalam tas merka. Begitu juga dengan gadget-nya. Tak hanya cukup dengan Black Berry, mereka juga punya handphone cadangan baik itu handphone standar sampai senter yang bisa nelpon dan sms-an.
      Tak bisa dipungkiri mereka telah berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung kantin dengan penempilan mereka. Tapi sebaiknya kita tinggalkan saja cewek-cewek modis tadi. Sekarang waktunya kita beralih pada kisah yang sebenarnya akan aku ceritakan karena mereka hanya akan membuyarkan hayalanku dan membawanya ke dimensi yang lain.
      Pada salah satu bangku kantin terlihat sekelompok cowok sedang asik berdiskusi. Pembicaraan mereka sederhana sih tapi tak bisa dianggap ringan. Wanita.
      Tampak seorang cowok dengan setelan casual menjadi pembicara dalam diskusi serius mereka. Dia salah satu cowok tertampan di kampusnya. Trade recordnya dalam meluluhkan hati wanita tak usah diragukan lagi. Berganti pacar adalah pekerjaannya. Jadi sangat wajar jika dialah yang selalu menjadi pembicara pada diskusi seperti itu. Sama seperti namanya yang telah menjadi simbol play boy, setenar itu pula dia dikenal dengan kegemarannya memacari cewek-cewek di kampusnya juga mahasiswi kampus-kampus lain. Mulai dari cewek modis yang gaul sampai mahasiswi yang waktunya hanya untuk kuliah. Beberapa senior juga berhasil masuk dalam perangkap rayuan mautnya, apalagi mahasisiwi junior yang lugu. Meskipun dia telah sangat terkenal play boy, cewek-cewek pun masih juga termakan gombalannya. Begitu hebatnya pesona Kelinci.
Namanya Kelinci. Bukan hanya sekedar julukan karena tabiatnya. Karena memang tujuh huruf itu yang tercatat sebagai namanya pada semua berkas administratifnya. Belakangan diketahui bahwa nama tersebut adalah pemberian sang nenek yang begitu menyukai kelinci dan terpaksa diterima oleh orang tua Kelinci untuk menyematkannya sebagai nama karena hal tersebut adalah salah satu permintaan neneknya sebelum meninggal sehari setelah kelahirannya.
      “Dian tuh yah susah banget didekati. Kalau begini terus kapan jadiannya? Aku harus gimana dong Nci?” Bagas memulai pembicaraan dengan mencurahkan masalahnya kepada forum.
      “Emangnya apa saja sih yang sudah kamu lakuin untuk dia?” Sang konsultan pun bertanya kepada pasiennya, namun sama sekali tidak menoleh pada Bagas. Matanya terlalu sibuk men-scan cewek-cewek di kantin. Apalagi kalo bukan untuk mencari mangsa baru.  
      “Aku sih dah rajin telepon dan sms dia.”
      “Cuma itu saja?”
      “Yah nggak lah. Aku tiap hari ngingetin dia untuk makan. Sebelum tidur sms dia ‘nice dream’. Ngajakin jalan juga sering.”
      “Terus reaksi dia gimana?”
      “Dia sih balas sms dan telpon aku, tapi dingin banget.”
***
      Sorenya Kelinci sedang asik nongkrong di cafe bersama gendengan barunya. Wajah ceweknya sih gak cantik amat, tapi gak ngebosenin. Kelinci memerlakukannya sangat manis dan sopan, jadi wajarlah kalau cewek itu akhirnya melayang dengan segala rayuannya. Mereka betah di cafe sampai malam semakin gelap. Kelinci sudah mulai mengelus-elus tangan cewek itu lembut dan menyandarkan pada pundaknya sembari mengelus rambut panjangnya. Sejenak kemesraan mereka terusik oleh suara handphone Kelinci yang berdering. Dia mendumel dalam hati. Siapa sih? Gak tau apa aku lagi seneng.
      “Nci, kamu di mana?” terdengar suara di ujung sana.
      “Kenapa sih?”
      “Kok kenapa sih? Anak-anak dah nungguin kamu dari tadi buat latihan. Kamu kok nggak datang sih? Ini sudah yang ketiga kalinya kamu gak ikut latihan.”
      Spontan Kelinci menempelkan tangannya di jidat. Dia lupa hari ini dia ada latihan band.
      “Aduh, sorry aku lupa.”
      “Lupa bagaimana? Kan tadi siang juga aku ingetin di kantin.”
      “Yah, sorry. Pokoknya latian selanjutnya aku gabung deh.”
      “Enak aja. Pokoknya gak ada lagi latian selanjutnya.”
      “Maksudnya tadi tuh dah latian terakhir? Nanti deh biar aku pelajari lagunya dan latian sendiri aja.”
      “Gak usah repot-repot deh pelajarin lagunya segala. Gak perlu.”
      “Yah udah kalo aku gak perlu latian lagi. Aku sih sadar aku memang jago maennya, tapi aku gak nyangka aja kalian begitu yakin sama skill aku.” Kelinci akhirnya bernafas lega dan masih sempat menyombongkan diri.
“Memang sih kamu jago banget maen gitarnya. Tapi kami gak butuh kamu lagi di band. Percuma jago tapi gak disiplin.”
      “Maksudnya apa nih??”
      “Kamu di-KELUAR-kan dari band.”
***
      Terdengar sangat jelas di telinga Kelinci kalau dia dikeluarkan dari band. Ada sedikit gurat kecewa di wajahnya. Bukan karena teman-temannya memperlakukannya seperti itu, tapi karena kesempatannya untuk meraih tropy the best guitarist seperti tahun lalu mungkin tak akan ada lagi untuk tahun ini.
      Gimana mau jadi the best guitarist, band aja gak punya. Gimana bisa ikut festival? Keluhnya dalam hati.  Dia kini sibuk dengan pemikirannya sendiri. Kesempatanku masih ada. Fish aja yang dikeluarin dari band-nya Vesuvius akhirnya bisa terkenal dengan A.D.D. Iyah, aku pasti bisa. Tapi, itu kan film yah. Fish juga butuh waktu yang lama. Nggak, aku nggak boleh nyerah. Aku harus bentuk band  baru.
***
      Festival band kampus adalah salah satu event tahunan yang sangat ditunggu-tunggu. Gak Cuma mahasiswa aja yang bisa ikutan, dosen pun tak mau ketinggalan unjuk gigi. Meskipun ada beberapa dosen yang memang punya skill yang bagus dalam bermain musik, tetap saja mereka gak bisa menang ngalahin mahasiswa. Maka dari itu dibuatlah kategori penilaian khusus untuk dosen, jadinya gak gabung sama mahasiswa. Sayangnya peserta untuk kategori khusus itu gak pernah lebih dari tiga band. Jadinya enak penentuan pemenangnya. Syarat pesertanya gak neko-neko. Gak peduli dalam satu band personilnya beda fakultas atau enggak, bukan jadi soal. Biar pun dalam satu band bisa terdiri dari mahasiswa, dosen dan pegawai kampus tak jadi masalah asalkan semuanya masih orang dalam kampus. Gak boleh dari kampus lain. Festival tahunan ini dinilai mampu memererat kekompakan seluruh golongan dalam kampus.
      Tahun lalu band Kelinci ikut dalam festival tersebut, meskipun cuma bisa menyabet juara tiga. Tapi Kelinci berhasil menjadi The Best Guitarist, makanya pamor dia tambah naik tuh di mata cewek-cewek. Tambah mudah pula bagi dia untuk memikat cewek-cewek sekampus.
      Setelah sibuk telpon sana telpon sini mencari player untuk bandnya yang baru akhirnya dia berhasil menemukan seorang drummer. Dia masih butuh basist dan vocalis. Setelah seminggu mencari pemain untuk band-nya hasilnya tetap nihil padahal festival tinggal tiga minggu lagi. Jadinya dia memutuskan untuk tetap ikut walau hanya dia dan seorang drummer.
      Tanpa buang waktu mereka mulai latihan intens. Kelinci merangkap menjadi vocalis sekaligus. Maunya sih nyamain band Garasi tapi tetap aja gak bisa. Bagaimana tidak kalau suaranya parau banget. Karena itu si Aldy yang merangkap jadi vocalis. Meskipun kelabakan nyeimbangin gerakannya nge-drum dengan suaranya yang pas-pas-an, paling tidak masih jauh lebih baik dari suara Kelinci.
      Setelah latihan hampir seminggu dan tampaknya cukup berhasil, Kelinci kembali garuk kepala memikirkan kemungkinan keikutsertaannya pada festival. Suatu malam setelah latihan, Aldy mengalami kecelakaan motor. Dan cukup parah. Jangankan untuk main drum, jalan saja dia masih butuh tongkat. Karena tekadnya yang bulat untuk ikut dalam festival, dia nekat menemui panitia festival.
      Dengan semangat dia menuju sekretariat panitia. Kelinci berharap panitia yang akan dia temui nanti cewek, jadi lebih mempermulus urusannya. Dan sialnya lagi yang dia hadapi adalah cowok. Cowok tulen.
      “Dek, dalam festival nanti aku boleh kan solo gitar.”
      “Wah, gak bisa tuh kak.”
      “Kok gak bisa sih? Aku yang dapat the best guitarist loh taon lalu.”
      “Kan namanya festival band kak, bukan festival musik.”
      “Tapi gitar kan salah satu perangkat terpenting dalam band.”
“Mau maen gitar sehebat apa juga kalo cuma ada gitar yah mana bisa disebut band. Mau the best guitarist kek atau gitaris band terkenal juga gak bisa kak.”
“Terus gimana dong caranya biar bisa ikut festival?”
“Bentuk band dulu lah.”
“satu-satunya yang aku punya tuh cuma drummer, tapi kemarin dia malah kecelakaan. Apes banget tuh kan aku.”
“Gini aja deh kak, tahun ini kan gak cuma band aja tuh tapi akustik juga. Sekarang tinggal cari orang yang bisa nyanyi. Cepetan kak, kurang dari dua minggu lagi loh.”
“Oke deh, aku ikut akustik aja.”
***
Malam harinya Kelinci memutuskan untuk me-refresh kepalanya yang belakangan mikirin festival. Dia pun melaju mobilnya menuju sebuah pusat perbelanjaan. Setibanya di mall, dia malah kebingungan mau ngapain. Jadinya dia jalan-jalan sendirian gak jelas. Langkah kaki membawanya ke sebuah toko buku. Dia langsung masuk tanpa mikir lagi. Wah, kapan yah terakhir kali aku ke toko buku? Kalo gak salah SMP deh. Batinnya.
Dia langsung menuju rak bagian musik. Tak jauh dari raknya terdengar percakapan antara pegawai dan salah seorang pengunjung di depan sebuah komputer.
“Ada bukunya The Jacatra Secret gak mas?”
“Bentar yah mbak. Jacatra yah? Bukan Jacarta?”
“Itu dah bener kok Jacatra.”
Mana ada yang dibilang Jacatra. Kelinci menimpali dalam hati.
“Wah gak ada tuh mbak.”
Tuh kan gak ada.
“Lagi kosong yah mas?”
“Barangnya gak pernah masuk mbak.”
“Ooo, gitu yah. Kalo Revolusi Subuh-nya Pram?”
Siapa tuh? Aku baru denger.
“Gak ada juga tuh mbak.”
“Yah, kok gak ada sih.”
“Itu buku langka mbak. Buku-bukunya Pram kan sempat dilarang sama pemerintah mbak.”
“Kalo gitu bukunya Zainur Ridwan ajah yang Novus Ordo Seclorum sama Ibunda-nya Maxim Gorky.”
Wah, mereka siapa lagi tuh?? Banyak banget yang dicari cewek ini. Satu pun gak ada. Gak terkenal sih. Coba deh tanya ‘Mas ada bukunya Sin Chan gak?’ pasti ada tuh.
“Bentar yah mbak.”
“Iyah”
“Wah, gak ada juga tuh mbak. Maaf yah mbak.”
Gimana bukunya ada kalo penulisnya aja gak tau dari planet mana asalnya.
      Si cewek pengunjung tadi nampak sedih tak satu pun buku yang dia tanyakan ada. Dia berjalan pelan menuju kasir. Dia nampak kesusahan membawa tujuh buku yang sebagian besar sangat tebal. Hampir semuanya novel. Setelah melihat-lihat beberapa lama, Kelinci mengambil sebuah majalah musik yang tipis kemudian menuju kasir. Dia berdiri tepat di belakang cewek tadi.
Gila nih cewek, buku sebanyak dan setebal itu mau diapain? Tadi juga masih nyari buku yang penulisnya tinggal di negeri natah berantah. Bisa dibaca semua nggak tuh? Kalo aku mah sampai mati juga gak bakalan selesai tuh buku. Dia jualan kali yah?
      “Jadi semuanya Rp. 512.600,- mbak” Kasir dengan ramah menyebut besaran bilangan yang harus dibayar si cewek.
“Nih mbak.” Dia mengeluarkan enam lembar pecahan seratus ribu dari dompetnya.
Beh, bener-bener sudah gila nih cewek. Duit sebanyak itu dibuang-buang cuma buat beli buku. Parah nih.
      “Gak ada uang kecilnya yah mbak Rp. 12.500,-? Gak ada uang kecil untuk kembalian nih mbak.”
Si cewek kembali mengecek dompetnya, namun tak ada. Diperiksa pula semua kantong celana jeansnya dan akhirnya dia temukan selembar uang sepuluh ribu di kantong belakangnya dan lembaran dua ribu serta recehan lima ratus di kantong depan.
      “Ini mbak. Tapi kurang seratus rupiah mbak. Sebentar saya coba cari di tas saya.” Dia bersiap meninggalkan kasir menuju tempat penitipan barang.
Kelinci yang sudah tak sabar menunggu cewek itu dilayani kasir akhirnya menahan cewek tadi.
      “Gak usah. Nih aku punya recehan.” Kelinci merogoh kantong jeansnya dan menyerahkan pada kasir.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan kasir si cewek berlalu pergi meninggalkan Kelinci yang mennyelesaikan pembayaran majalahnya.
Nggak tau diri banget sih tuh cewek. Dah ditambain seratus juga nggak bilang makasih. Malah pergi aja gitu. Biar pun duit seratus rupiah gak punya nilai yang besar tapi kan tetap aja aku dah nolongin dia.
      Di depan toko buku si cewek tadi terrnyata menunggu Kelinci keluar. Dengan langkah kecilnya dia mengejar Kelinci yang berlalu begitu saja melewatinya.
      “Maaf, aku nggak punya duit seratusan di tas. Jadi tolong tulis nomor hape kamu di sini.” Dia menyodorkan secarik kertas dan pulpen pad Kelinci.
“Buat apa?”
“Tulis aja!”
“Naksir yah?” Kelinci menyerahkan kertas dan pulpen kepada cewek tadi.
“Ini buat ngembaliin duit kamu.”
***

Kelinci sedang nyantai di kantin bersama seorang temannya. Mereka sedang membicarakan masalah Kelinci dalam mengikuti festival kampus.
“Jadi kamu masih tetap mau ikut festival, Nci?”
“Iyah.”
“Kamu kan nggak punya band lagi.”
“Kan bisa ikut akustik aja.”
“Akustik juga nggak bisa kamu sendiri. Kamu butuh vocalis.”
“Makanya bantuin cari vocalisnya..”
“Kalo anak kampus lain sih banyak.”
“Kalo bisa dari kampus lain mah aku juga nggak perlu minta bantuanmu.”
Handphone Kelinci tiba-tiba berdering.
      “Haloow...”
“Kamu dimana?”
“Siapa nih?”
“Orang yang ngutang Rp. 100,- sama kamu di toko buku kemarin.”
“Gak usah dikembalikan kali.”
“Aku nggak mau ngutang. Jadi sekarang bilang aja kamu dimana. Nanti biar aku samperin.”
“Di kampus.”
“Kampus kamu dimana?”
“Unhas.”
“Oke, kita sekampus kok. Fakultas?”
“Sastra.”
“Sekarang kamu di Sastra bagian mana?”
“Kantin.”
“Oke. Aku ke sana sekarang.”

      Hanya berselang kurang dari sepuluh menit cewek tadi sammpai juga di kantin sastra. Kantin yang sedang sepi memudahkannya menemukan meja Kelinci.
“Nih duit kamu.” Dia meletakkan uang logam seratus rupiah di atas meja.
“Dibilang gak usah.”
“Aku juga dah bilang kan aku nggak mau ngutang. Aku nggak mau aja nanti di akhirat aku nggak jadi masuk surga gara-gara duit seratus yang kamu beri gak ikhlas.”
“Okelah kalo gitu. Duitnya aku ambil nih. Kamu anak fakultas mana sih? Cepat banget nyampai sini. Sospol yah?”
“Bukan.”
“Hukum?”
“Aku anak sastra.” Dia memberi penekanan pada kata sastra.
“Masak sih kamu anak sastra?” Kelinci tak percaya.
“Perlu aku tunjukin kartu mahasiswaku?”
“Kok tadi di telpon tanya kampus aku segala? Baru pindah yah?”
“Dengar yah, aku masuk di sini sejak maba. Dan tadi aku tanya kampus kamu dimana karena aku memang gak tau kampus kamu dimana.” Dia mulai kesal.
“Kamu pura-pura aja kali nggak kenal aku. Semua orang di Sastra kenal aku.”
“Nggak semua orang di Sastra kenal kamu karena aku nggak kenal kamu.” Dia pun pergi meninggalkan Kelinci.
      Kelinci merasa tidak terima diperlakukan seperti tadi. Tindakan tidak mengenalnya merupakan penghinaan baginya.
“Tuh cewek kemana aja sih bro?”
“Kenapa emangnya?”
“Kok dia sama sekali nggak kenal aku sih?”
“Emang semua orang harus kenal kamu?”
“Yah nggak juga sih. Tapi aku kan cowok tercakep di sini. Aku juga jago maen gitar bro.”
“Iya sih Nci, kamu memang gitaris paling cakep yang pernah dikeluarin dari  band.”
“Wah, nggak usah ngungkit masalah itu kali.” Kelinci berubah manyun.
“Eh, kebetulan tuh bro kamu lagi nyari vocalis, tanya dia aja.”

“Cewek tadi?”
“Iyah. Dia bisa nyanyi loh. Suaranya bagus banget.”
“Kamu pernah denger dia nyanyi?”
“Dia itu adeknya teman SMP aku. Minta dia aja.”
“Dia nggak gabung di band kan?”
“Setauku sih nggak. Tapi coba tanya aja dulu.”
“Tapi kan aku tensin sama dia. Masa cowok cakep nggak dia kenal sih.”
“Pikirin aja tuh gengsi gak jelas. Buruan ajak dia. Tinggal semingguan lagi loh. Kalo mau nyari dia gampang, ke perpustakaan aja.”
“Namanya siapa?”
“Orang-orang manggil dia Kura. Kura-kura.”
***
      Perpustakaan sangat sepi saat sore menjelang. Hanya satu dua yang masih asik membaca, juga sekelompok mahasiswa yang sedang serius berdiskusi dan petugas perpustakaan pun tinggal seorang bapak tua berkacamata. Kelinci melayangkan pandang mencari Kura namun tak juga ditemuinya. Dia berjalan melewati rak-rak buku mencarinya di sana, namun tak juga dia temukan. Dia hampir putus asa mencari ke segala penjuru perpustakaan yang besar itu. Dia akhirnya membalikkan badan dan berniat pergi namun tiba-tiba dia mendengar samar suara Kura. Kelinci kembali mencari sumber suara. Dan itu dia. Kura baru saja menyelesaikan percakapannya di telepon dan kembali serius dengan bacaannya. Dia duduk pada kursi dengan sebuah meja kecil di depannya, di ujung perpustakaan tepat di samping jendela. Memang susah menemukannya karena tersembunyi di balik rak buku paling terakhir.
      “Hai Ra..” sapa Kelinci datar.
      “Ada apa?” Kura nampak kesal dengan kehadiran Kelinci yang mengganggu aktivitasnya. Ditutupnya novel tipis yang sedang dibacanya dan melempar pandangan tak suka pada Kelinci.
“Aku Kelinci.” Dia menjulurkan tangannya dan dibalas hampa oleh Kura.
“Jadi  kamu ke sini jauh-jauh gangguin aku membaca cuma buat bilang siapa nama kamu? Nggak penting banget.”
To the point aja yah. Aku butuh bantuan kamu.”
“Kamu dah ganggu sekarang malah minta bantuan aku?” meskipun nadanya marah, suara Kura tetap saja kecil dan masih terdengar lembut.
Please banget nih yah. Aku nggak tau mau minta tolong sama siapa?”
“Kamu mau apa dari aku?”
“Jadi singer aku untuk festival nanti.”
      Kura tak menjawabnya, dia malah merapikan barang-barangnya lalu meninggalkan Kelinci yang menanti jawabannya begitu saja. Yah, dia sudah menjawab permintaan kelinci dengan penolakan.
***
      Kura membuka pintu rumah dan bersiap ke kampus. Baru beranjak dua langkah dari pintu, kakinya menendang sesuatu. Dia kaget dan menunduk mencari tahu apa yang ditubruk kakinya tadi. Sebuah bungkusan ungu berpita putih tergeletak di atas lantai tak jauh dari tempatnya berdiri. Sontak dia langsung meraih bungkusan tersebut.
      “Apa ini?”
Pada sisi luar kotak terdapat sebuah kartu.  Di sana tertulis “Untuk Kura”. Karena penasaran dia pun akhirnya membuka kotak itu. Dan tiba-tiba dia berteriak begitu girang melihat isi kotak tersebut. Isinya adalah sebuah buku tebal yang selama ini membuatnya keluar masuk toko buku namun tak juga didapatnya. The Jacatra Secret.
      “Gila, dapat dari mana buku ini? Siapa nih yang ngirim?”
Dia tak sabar lagi untuk mulai membaca novel tersebut meskipun dia belum tahu pengirim buku itu. Setiba di kampus dia langsung menuju perpustakaan dan kembali duduk pada meja yang sama di samping jendela. Dia mengeluarkan buku tadi dari dalam tasnya, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu-nya Puthut dia tinggalkan dan lebih memilih menyelesaikan The Jacatra Secret terlebih dulu. Baru pada lebar judul kebahagiaannya tiba-tiba luntur mendapati tulisan tangan yang ada di sana.
      I hope you like it. J
-Kelinci-
***
“Dapet dari mana bukunya?”
“Kakakku. Buku itu gak dijual di toko. Kalo mau beli yah harus on-line.”
“Ooo. Pantesan aku keliling gak dapet-dapet nih buku.”
“Kamu suka.”
“Yah jelas lah suka. Aku butuh banget buku itu.”
“Penting banget yah?”
“Aku mau bandingin sama The Lost Symbol-nya Dan Brown. Aku lagi tertarik sama novel konspirasi. Bilangin ke kakakmu maksih yah. Nanti deh aku pesan yang lain untuk ganti bukunya.”
“Gak usah, bukunya juga dah habis stok-nya.”
“Jadi kakak kamu gimana dong?”
“Itu buku aku beli dari dia. Tiga kali lipat dari harga aslinya jadi gak usah diganti.”
“Berapa yang harus aku bayar ke kamu? Aku gak mau ngutang.”
“Gak usah dibayar kali. Itu hadiah dari aku.”
“Aku gak enak tau. Pokoknya aku harus ganti.”
“Kalo kamu maksa yah terserah. Tapi aku gak mau dibayar pake duit atau buku. Aku gak butuh.”
“Terus aku harus bayar pake apa dong?”
***
Kelinci sepertinya harus menelan ludah untuk tidak ikut dalam festival band tahun ini. Baru saja band lamanya tampil dengan gitaris baru tanpa dia. Sekarang adalah penampilan band terakhir dan sudah sangat pasti dia tidak bisa menjadi The Best Guitarist lagi tahun ini. Festival Band dan Acoustics ditutup oleh penampilan bintang tamu yang disambut riuh oleh sorak sorai tepuk tangan penonton. Tak hanya dari mahasiswa kampus saja, juga mahasiswa kampus lain yang tertarik pada festival tahunan mereka.
MC maju ke depan panggung. Tibalah detik-detik yang mendebarkan bagi para peserta untuk mendengarkan penentuan pemenang. Juara dua telah disebutkan oleh MC, band lama Kelinci yang meraihnya. Sekarang tinggal juara satu yang berhasil disabet oleh band yang selama ini menjadi saingan mereka. Dan sekarang adalah saat yang sangat menyakitkan bagi Kelinci. Pengumuman The Best Guitarist. Yang membuatnya sakit bukan karena ketidak ikut sertaannya, tapi karena menurutnya yang memeroleh tropy itu adalah seseorang yang tidak terlampau mahir memainkan gitar. Sangat kalah jauh darinya.
Setelah penyerahan tropy kedua MC kembali maju ke depan.
“Yah, itu lah tadi pengumuman untuk band. Sekarang saatnya bagi para peserta akustik untuk berdoa.” MC cewek yang berpenampilan seksi mulai menghadirkan ketegangan bagi peserta akustik.
“Untuk akustik baru tahun ini diadakan tapi banyak juga yah yang antusias.” MC yang satunya menimpali. MCnyacowok, tapi melambai.
“Siapa yah pemenangnya?”
Mereka pun mengumumkan pemenag ketiga dan kedua.
“Dan sekarang siapa yah yang jadi juara satu?”
Mereka kembali mengintip kertas hasil penjurian. Lalu kemudian saling tatap sejenak dan tersenyum.
      “Gila yah mereka ini ngingetin aku sama masa kecil aku.”
      “Gak cuma kamu kali. Aku juga jadi inget masa kecilku kalo liat mereka. Apalagi kalo sebelum tidur tuh.”
      “Iyah yah, dulu mamaku juga sering banget ceritain tentang mereka.”
      “Kalo dalam dongeng mereka diceritain jadi rival dalam sebuah kompetisi lari. Sekarang dalam kompetisi ini mereka malah kerja sama dan akhirnya jadi perpaduan yang sangat hebat.”
      “Jadi pada penasaran kan siapa juaranya?” si MC cewek melempar tanya pada penonton yang dibalas serempak dengan teriakan khas “Lamaaaaaaaaaaaa”.
      “Dan juara satu adalah..”
      “.. The Fairy.”
Tepuk tangan serta merta membahana menyambut sang juara. 
“Ayo dong The Fairy naik ke panggung. Mana nih Kelinci sama Kura-kura? Gak usah malu...”
      Kelinci yang tidak percaya pada apa yang didengarnya langsung mencari Kura-kura di tengah kerumunan penonton. Sejanak mencari namun tak juga menemukannya, dia langsung tersadar dan berlari meuju suatu tempat. Perpustakaan. Tanpa mengucap satu kata pun dia langsung menarik tangan Kura dan membantunya membawa buku-buku yang ada di atas meja. Kura pun hanya bisa nurut dan ikut berlari menyeimbangkan langkah Kelinci dengan langkah kakinya yang lamban.
***