Dilema Hati Seorang Ibu

Sunday 28 November 2010
Ibu itu tampak resah. Baru saja dia menutup telepon dari adik iparnya. Dia sedang memangku si bungsu yang terus merengek minta gendong. Tampak keraguan di air mukanya yang kini mulai keriput. Usianya belum lah terlalu tua, namun kerasnya hidup membuat tubuhnya tak terawat. Kerjanya hanya di rumah. Melahirkan dan merawat anak serta mengurus rumah tangga. Dia merasa kecapaian namun si bungsu terus menerus merengek. Disumbat mulut anaknya dengan susunya. Kini anak yang lain juga datang mengusiknya dengan tangisan kecil. Kakaknya yang hanya lebih tua setahun lebih darinya merebut boneka yang ia mainkan. Si ibu berusaha menenangkan. Diusapnya rambut salah satu anak perempuannya.  Belum juga Nabila kecil menghentikan tangisnya, adiknya kembali berulah meminta gendong. Dipukuli badan ibunya dengan sesekali menendang-nendang dan tak jarang mengenai perut ibunya. Dia tak tahu bahwa dalam perut itu tersembunyi calon adik yang bersiap menggantikan posisinya sebagai anak bungsu.
Ibu itu punya begitu banyak anak. Dia dan suaminya percaya pada pepatah banyak anak banyak rejeki. Tak peduli bagaimana repotnya mengurusi anak kecil yang belum bisa mengurus dirinya. Anak pertamanya seorang lelaki yang kini telah beranjak dewasa. Usianya kini hampir pertengahan dua puluhan. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk membantu ekonomi keluarganya selain menjadi kuli bangunan yang upahnya tidak  seberapa. Mungkin hanya pekerjaan seperti itu yang bisa diperolehnya, mengingat ijazah yang ia miliki hanya tamatan SD. Jangankan untuk menghidupi seluruh keluarganya, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun masih jauh dari cukup. Paling tidak dia bisa membantu Ibunya menjaga adik-adiknya mengingat sang ayah bekerja di luar kota sebagai supir truk pada sebuah perusahaan tambang batu bara. Syukur jika tiap bulan bisa kembali ke rumah. Kehadirannya terwakilkan oleh sejumlah uang yang ia kirim setiap bulannya, hasil keringat halal yang ia kucurkan tiap hari. Sebenarnya uang bulanan itu tak juga cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang banyak. Untungnya sang  isteri mampu mengelola uang dengan baik sehingga tiap bulan dapat menyisihkan beberapa rupiah untuk keperluan yang tak diduga.
Anak keduanya adalah perempuan yang berjarak usia dua tahun dari kakaknya. Dia tinggal bersama adik dari ayahnya yang baru saja menelpon  ibunya. Sejak kecil dia selalu ikut dengan neneknya, Ibu dari ayahnya. Tapi kini beralih tinggal dengan tantenya. Ayahnya berusaha memberinya pendidikan yang layak. Dia tak  ingin Rima putus sekolah seperti kakaknya yang nasibnya berakhir di proyek bangunan. Namun keinginan ayahnya tak sesuai apa yang ia harapkan. Putrinya menanggalkan seragam putih abu-abunya di bangku kelas tiga. Sangat saying menurutku, mengingat tinggal beberapa waktu lagi dia akan menamatkannya.
Dia mewarisi paras ayu sang Ibu. Tak perlu heran jika banyak lelaki yang menaruh hati padanya. Karena itu pula sang nenek begitu mengawasi pergaulannya. Dia tak ingin Rima dirusak oleh lingkungan.
Adik Rima ada tujuh dan semuanya masih kecil. Anak ketiga punya jarak usia yang cukup jauh darinya. Bisa dikatakan ibunya melahirkan hampir tiap tahun. Dia hanya memiliki dua adik perempuan. Nabila dan salah satu kakaknya yang telah meninggal tenggelam ketika bermain di empang pada suatu sore. Seorang adik lelaki Rima dibopong oleh neneknya kembali ke  kampung. Telah bertahun-tahun sang adik tak pernah pulang. Bahkan telah ada empat adiknya yang belum pernah dia temui sejak mereka lahir.

Kini Nabila mulai tenang. Dia kembali bermain dengan kakaknya yang lain. Hanya si bungsu tak pernah mau lepas dari pangkuan Ibunya. Si Ibu tak bisa menyembunyikan kegalauan hatinya sejak menerima telepon dari adik iparnya dimana Rima tinggal. Entah kabar apa yang ia terima. Dia masih saja diam hingga akhirnya memulai penuturannya.
“Tante pusing. Om kamu kerjanya jauh.”
“Kenapa tidak memintanya pindah saja tante?”
“Bukan masalah jauhnya nak. Tadi tantemu di seberang menelpon, katanya adikmu Rima ada yang lamar.”
“Lho, bukannya bagus kalau dia dilamar? Toh, Rima sudah tak sekolah lagi dan dia sudah cukup dewasa untuk menikah.”
“Bukannya tante tidak senang nak. Ibu mana yang tak bahagia jika anak perempuannya dilamar. Hanya saja kabar gembira ini membuat tante bingung.”
“Apa yang membuat tante bingung?”

    Pertanyaanku dijawab dengan diam. Jawaban yang mewakili begitu banyak kata. Kini dia sibuk dalam hening yang ia ciptakan sendiri. Cukup lama. Sepertinya menimbang sesuatu, entah apa. Sekarang aku bisa melihat lewat sinar matanya, ada beban yang begitu berat sedang ditanggungnya. Lebih berat dari merawat sekian banyak anak sendirian. Setelah merasa bisa memberikan kepercayaannya padaku,dia pun menjawabnya.
“Rima sedang berkasus di polisi. Sebentar lagi sidang pertamanya akan dilaksanakan. Tante takut lelaki yang melamarnya tak bisa menerimanya.”
“Kalau dia  memang benar menginginkan Rima menjadi isterinya, lelaki itu harus menerima semuanya.”
“Ini bukan kasus yang biasa nak. Apalagi sekarang Rima ada yang lamar. Mungkin dia belum tahu kasus Rima.”
“Kasus apa sebenarnya tante? Rima anak yang baik. Dia tidak mungkin mencuri atau menipu, apalagi membunuh.”
“Ini bukan perkara seperti itu nak. Kasus ini memang tidak diketahui keluarga di kampung. Hanya nenekmu saja yang tahu. Tante malu jika orang kampung sampai tahu.”

    Handphone kembali berdering.
    “Dari tantemu.” Dia memberi tahu.
    Dan terjadilah perbincangan. Sepertinya lebih serius. Saya masih belum juga mengerti. Tak lama pembicaraan terputus.

    “Tantemu meminta agar kasus Rima ditutup. Bagaimana ini nak?”
“Saya tidak mengerti tante. Kasus Rima saja saya tak tahu. Kenapa tidak membicarakannya dengan om saja?”
“Om kamu tak bisa dihubungi sekarang. Dia sedang mengemudi. Mungkin nanti malam saja baru bisa ditelepon.”
“Bagaimana menurut tante sendiri. Apa kasusnya ditutup saja atau tidak? Kenapa juga tante disana meminta kasus ini ditutup?”
“Orang yang melamar adikmu ingin menikah secepatnya. Dia sudah setuju, tinggal menunggu persetujuan tante dan om saja. Kalau tante sendiri tak mau kasus ini ditutup. Keluarga kami telah dirugikan dan dibuat malu. Apalagi berkasnya telah masuk di pengadilan. Jadi ribet kalau mau mengurusnya kembali.”
“Kenapa tak menyuruhnya bersabar dulu? Tunggu lah sampai kasus ini benar-benar selesai.”
“Tantemu tak mau memberi tahu tentang kasus ini.”
“Bukannya lebih baik jujur kan?”
“Tante juga berpikir seperti itu nak. Tapi pertimbangan tantemu lain lagi. Dia takut lelaki itu menarik lamarannya pada adikmu.”
“Jujur saya bingung tante. Saya tidak bisa memberi tanggapan terlalu jauh untuk masalah yang saya belum ketahui secara jelas.”

    Tak  tahu pada bagian mana dari statementku yang salah. Sepertinya kata-kataku telah menyakiti hatinya. Dia menangis tak bersuara. Hanya air matanya saja yang mulai melukis garis-garis pada pipinya. Saya putuskan untuk tetap diam dan menunggunya menceritakan yang sesungguhnya. Tapi saya sendiri tak berharap banyak. Lukanya masih sangat perih. Dia masih menangis. Si bungsu tetap asyik menetek.
    Dia menyeka air matanya. Saya bersiap mendengar pengakuannya. Tapi dia kembali meneruskan tangisnya. Air mata tak hentinya bercucuran di wajahnya yang membentuk butiran air pada ujung dagunya hingga akhirnya jatuh ke lantai. Cukup lama menunggunya berhenti menangis. Hingga timbul kejengkelan dalam diriku. Sepanjang sore itu dia hanya bisa menagis. Sangat besar luka yang dia rasakan pikirku. Kalimat yang sempat terlontar dari mulutnya pada penghujung sore itu hanya satu.
    “Adikmu telah diperkosa dan pelakunya kini dipenjara.”
Barru, 14 Oktober 2010
05:18 pm
Cuplis

2 comments:

  1. keren ... mau ka juga nulis... tapi nda bisa ka....

  1. Sani said...:

    coba saja..
    mulai dari tulisan yang biasa sj..
    ini sj biasa ji kasian..

Post a Comment