Dialog Kura-kura

Saturday 5 February 2011
Seekor kura-kura tua menghampiri kura-kura betina yang sedari tadi menyendiri di atas batu dengan makanan yang tak bisa dihabiskannya sendiri. Matanya menerawang jauh. Dan terjadilah dialog di antara keduanya.

Kura2 Tua : Apa yang sedang kau lakukan nak?

Kura2 Betina : Menunggu.
Kura2 Tua : Untuk apa makanan yang banyak itu?
Kura2 Betina : Untuk perayaan pak.
Kura2 Tua : Apa yang kau rayakan?
Kura2 Betina : Ulang tahun.
Kura2 Tua : Ulang tahun siapa? Bukankah ulang tahunmu telah lama lewat?
Kura2 Betina : Ulang tahun orang yang kutunggu.
Kura2 Tua : Siapa?
Kura2 Betina : Kura-kura pejantanku.
Kura2 Tua : Kemana ia?
Kura2 Betina : Mengejar masa depan.
Kura2 Tua : Apa dia akan datang?
Kura2 Betina : Tidak.
Kura2 Tua : Mengapa?
Kura2 Betina : Dia sedang terkurung di dalam tembok keegoisan penguasa.
Kura2 Tua : Mengapa dia terpenjara?
Kura2 Betina : Untuk balas budi.
Kura2 Tua : Balas budi untuk apa?
Kura2 Betina : Untuk masa depan yang telah diberikan oleh penguasa untuknya.
Kura2 Tua : Jadi dia tidak akan datang hari ini?
Kura2 Betina : Iya. Tidak hari ini dan mungkin tidak untuk selamanya.
Kura2 Tua : Lantas mengapa kau masih menunggunya?
Kura2 Betina : Karena janji.
Kura2 Tua : Janji?
Kura2 Betina : Ya, janji. Janji untuk menunggunya kembali.
Kura2 Tua : Lho, untuk apa terus menunggunya? Bukankah dia tak akan kembali?
Kura2 Betina : Karena janji.
Kura2 Tua : Kenapa kau bertindak bodoh nak? Bisa saja di sana dia merayakan ulang tahunnya tanpa mengingatmu. Berhentilah menunggunya!
Kura2 Betina : Telah aku katakan Pak Tua, aku berjanji untuk menunggunya jadi aku akan terus menunggunya tak peduli dia kembali atau tidak. Karena aku tahu semua terjadi di luar kuasanya.
Kura2 Tua : Jadi kau akan menghabiskan usiamu untuk menunggunya?
Kura2 Betina : Ya.
Kura2 Tua : Teruslah menunggu nak, dan yakinlah dia akan kembali. Tapi mungkin dalam diri pejantan yang lain.

Kura-kura tua itu berenang meninggalkan kura-kura betina yang terus berdiam menunggu pejantannya kembali.
12 Januari 2010 

Keringat Demonstran

Suatu sore di warung coto.
Bau semerbak menyeruak tiba-tiba.
Wanginya memenuhi seisi warung yang sesak.

Aku mengendus kemudian.
Mencari sumber bau yang membuatku rileks seketika.
Bau paling harum yang pernah aku cium.
Bau ini tak mungkin dari aroma daging ataupun kuah coto yang bersiap kusantap.

'Yah wangi ini pastilah bau parfum', pikirku.
'Dan pasti mahal tentunya'.

Hidungku terus dan terus mencari wangi itu.
Kutangkap sesosok pria yang menenteng tas.
Kemeja garis-garis yang dikenakannya sangat elok serta celana kain hitam yang rapi.
Sepatunya pun disemir mengkilat.
Pria ini berjalan masuk warung dan duduk pada bangku di hadapanku.
Sejurus kemudian seorang pemuda pun mengekor.

Dan wewangian tadi semakin menusuk hidungku.

Aku mengangguk tersenyum.
'Akhirnya kutemukan juga sumber bau itu', batinku.

Kini di hadapanku terpampang pemandangan yang kontras.
Dua pemuda dengan penampilan berbeda.
Di sebelah kanan tampak pemuda rapi dan bersih.
Bahkan di sore yang gerah hanya ada dua tiga butir keringat di jidatnya.

Pemuda di sebelah kiriku beda lagi.
Tampangnya cumal.
Sekujur tubuhnya bersimbah peluh.
Di lehernya melingkar slayer hitam.
Kaos oblong yang dipakainya pun lusuh.
Celana jeans bolong itu entah berapa minggu tidak ia cuci.

Mereka menunggu pesanan.

Pemuda pertama memegang sebuah folder dan bergumam pasti
'Cukup dengan menjilati direktur itu proposalku akan gol dengan mudah'.

Pemuda kiri juga berkata pada dirinya sendiri sambil menyeka keringat di tubuhnya
'Mungkin ini tampak mustahil. Tapi semoga aksi demo tadi bisa menggugah petinggi negeri ini dan lebih memperhatikan rakyatnya'.

Pesanan datang.
Aku sengaja lambat agar bisa mencium bau itu lebih lama.

Pemuda pertama selesai dan beranjak pergi.
Namun bau itu masih juga menusuk hidungku.

Aku menatap pemuda kiri itu.
'Apa mungkin dia?' tanyaku dalam hati.

Kembali dia menyeka keringat dengan tissue di meja, lalu bangkit pergi.
Bau itu masih menyeruak.
Kuraih tissue bekasnya dan kucium.

Wangi.
 
17 Januari 2010

Lelapkan Aku

Mengapa terlalu lama kau perginya sayangku?
Malam ini lagi-lagi aku tak bisa tidur.
Tak kurang lima jam aku mencoba memejamkan mata.
Tapi suara anak kucing tetangga kita terus menggangguku.
Dua jam aku menunggunya diam.
Hingga mulut mereka tersumpal oleh susu induk mereka.

Sejenak hening.

Aku kembali menyembunyikan tubuhku dalam selimut tua kita.

Baru sejenak aku mengingat masa-masa indah kita dan menjadikannya dongeng pengantar tidurku.
Karena kuingin bisa memelukmu dalam mimpi.
Segerombol titik hujan pun menyerang dengan ganasnya.
Menimbulkan suara gemuruh pada seng rumah kita yang bocor di sana-sininya.

Pulanglah cepat sayangku!
Lelapkan aku dalam dekapmu.


17 Januari 2010