Teori Konflik dalam Karya Sastra

Thursday 30 June 2011

Dalam ilmu kesusastraan ada banyak teori dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisi sebuah karya sastra. Begitu pula ketika ingin mengaitkan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang ada. Beberapa teori tersebut adalah teori resepsi, post-kolonialisme, Marxisme, konflik, habitus, game, dan sebagainya. Dari sejumlah teori tersebut semuanya bisa kita gunakan untuk menyelidik keberadaan realitas yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.
Salah satu hal yang merupakan bagian dari kehidupan manusia bahkan kadang menjadi penentu alur hidup seseorang adalah konflik. Konflik sendiri sangat luas cakupannya. Secara umum konflik dalam karya sastra bisa digolongkan menjadi dua, yakni konflik internal dan konflik eksternal. Untuk lebih jauh, konflik internal adalah permasalahan yang terjadi dalam diri seorang tokoh dan mengalami pergulatan dalam dirinya tanpa disebabkan atau mempengaruhi orang lain di sekitarnya. Sedangkan konflik eksternal adalah masalah yang terjadi dengan faktor lain di luar diri.
Konflik adalah sesuatu yang menjadikan hidup yang kita jalani menjadi lebih sempurna dengan segala lika liku problematika yang bisa ditimbulkannya. Dia menjadikan hidup lebih berwarna. Seseorang pasti akan merasa hampa jika selama hidupnya hanya merasakan kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya, seseorang lainnya pun akan merasa bosan jika terus menerus menderita.
Sebelum tercipta sebuah karya sastra, terlebih dahulu ide tertampung di dalam kepala penulis dan kemudian tercurah dalam bentuk yang berbeda. Ide tersebut biasanya berangkat dari pengalaman, baik itu yang dialami langsung oleh penulis itu sendiri maupun yang berasal dari orang di sekitarnya dalam menghadapi permsalahan hidup yang dialami. Dan semua karya sastra harus melewati proses penciptaan ide ini.
Misalnya saja penulis besar yang nama dan karyanya masih dikenal hingga saat ini yakni William Shakespeare mengalami konflik dalam dirinya. Dia diwajibkan untuk mengolah permasalahan yang terjadi di sekitar dirinya kemudian digubah menjadi rangkaian kata yang sangat indah dan menggugah. Hal ini disebabkan karena Shakespeare harus menghasilkan karya sastra yang indah sesuai dengan permintaan sang pemimpin tahta Inggris pada saat itu yakni Ratu Elizabeth Tudor atau Elizabeth I. Hal tersebutlah yang memaksa Shakespeare untuk terus menerus mencipta dan mengreasikan konflik di dalam kepalanya sebelum alhirnya menjadi sebuah maha karya.
Sama halnya posisi konflik dalam kehidupan, di dalam karya sastra pun konflik menjadi nyawa yang menentukan hidup matinya sebuah karya sastra. Semakin baik konflik yang terkandung dalam karya sastra semakin bagus pula apresiasi terhadap karya tersebut. Dan kembali harus kita ingat bahwa konflik dalam sebuah karya sastra berangkat dari kehidupan nyata. Karena karya sastra adalah bentuk refleksi dari kehidupan.
Pada kenyataannya, banyak karya sastra yang cenderung mengangkat permasalahan yang acap kali diangkat pada beberapa karya sastra yang lahir sebelumnya sehingga karya sastra yang lahir belakangan akan terkesan sebagai hasil plagiat. Hal ini bukan tanpa dasar sama sekali mengingat masalah-masalah yang ada dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu hampir semuanya sama. Dan ini menjadi tantangan bagi penulis untuk lebih piawai dalam meracik sebuah karya sastra untuk tampak indah dan tidak monoton.
Jika kita menggunakan teori konflik dalam mengkaji karya sastra tentu saja itu bisa sedikit memudahkan mengingat ada banyak percontohan yang bisa dijadikan acuan dari kehidupan manusia sehari-hari. Teori ini pula mampu untuk menganalisis bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Penggunaan bahasa antara seseorang yang sedang mengalami konflik dan seorang lainnya yang hidupnya ‘baik-baik’ saja tentu berbeda.
Sastra kanon merupakan ekspresi perlawanan terhadap tindakan penindasan yang nampak terjadi pada masyarakat. Karya sastra kanon hadir sebagai karya sastra yang terjadi pada kemelut zaman. Karya sastra kanon selalu saja berhasil menciptakan rasa solidaritas sosial antar individu dan semangat untuk saling melindungi satu sama lain.
Namun pada akhirnya karya sastra kanon hilang tenggelam dalam perkembangan zaman yang semakin maju dan pula disebabkan oleh adanya proses advokasi untuk hak dan kesadaran individu yang selalu ditanamkan dalam benak masyarakat tanpa melihat latar belakang budaya mereka. Sama halnya jika seseorang disuapkan sebuah masakan baru yang belum tentu berterima dengan sistim tubuh orang tersebut.
Terbukanya gerbang kebebasan untuk berekspresi menjadikan para pemilik imajinasi liar tidak menyiakan kesempatan tersebut dan seolah berlomba untuk saling mengadu kreatifitas mereka. Sehingga tanpa disadari terjadi pertarungan dalam terciptanya yang dikatakan karya sastra pop. Karya sastra pop atau yang dimaksudkan sebagai karya sastra popoler bisa dikatakan telah merajai pasar dengan eksistensi mereka yang sangat dekat dengan kehidupan saat ini. Karya sastra pop telah melakukan perombakan pada struktur masyarakat yang telah berlangsung rapi sejak lama. Mereka hadir untuk menguak kebenaran yang mereka yakini sehingga semakin memperlihatkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan semuanya merupakan kebenaran tunggal bagi sang pemilik kebenaran tersebut.
Keberadaan karya sastra pop memberikan ruang bagi para kaum muda untuk turut meramaikan eksistensi karya sastra. Namun sayangnya tak ada tolak ukur yang tetap yang bisa dikenakan pada setiap individu dalam menilai seberapa berkualitas kah sebuah karya sastra. Mereka bisa saja menggunakan teori persepsi dalam penilaian mereka. Sehingga banyaknya karya sastra populer yang lahir misalnya yang bergenre teenlit dianggap tidak layak dan tidak berkualitas untuk dilabeli sebagai sebuah karya sastra. Dan ini dikembalikan lagi kepada individu yang menilainya.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa sebuah karya sastra adalah bentuk dari refleksi kejadian yang benar-benar ada dalam keseharian karenia setiap karya sastra berangkat dari kehidupan yang nyata. Dengan dasar inilah para kaum muda yang memiliki kreatifitas tinggi dan cara yang lebih liar dalam berekspresi tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyajikan kisah yang terjadi dalam dunia mereka sebagai bentuk eksistensi sang individu yang menghasilkannya maupun kelompok yang diwakilinya.
Karya sastra pop bisa juga dikatakan sebagai bentuk kekecewaan terhadap realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan mereka. Jadi mereka menuangkannya dalam sebuah karya sastra dengan harapan untuk bisa mencapai apa yang mereka harapkan lewat karya sastra yang mereka hasilkan. Pada kenyataanya memang tak seedikit yang memberi perhatian pada karya sastra pop. Hal ini bisa kita terka bahwa karya sastra tersebut mengusung kekecewaan yang juga dirasakannya. Jadi salah satu bentuk keterikatan antara pembaca dan karya sastra pop adalah hubungan personal dari kekecewaan yang sama dirasakan.
Karya sastra pop belum bisa dikatakan menjadi penyebab perubahan sosial karena hal tersebut tidaklah terjadi. Mereka hanya menyajikan sebuah karya sastra dalam bentuk yang lebih menarik dan sesuai dengan kebutuhan dan style kekinian. Karena seorang penulis harus tahu target pembacanya. Dan sastra pop tidak bisa memberikan penawaran atas perbaikan struktur yang sebelumnya mereka rombak.

4 comments:

  1. Anonymous said...:

    Very quickly this web page will be famous amid all blogging and
    site-building visitors, due to it's fastidious posts

    Here is my homepage: best seo software online
    Also see my web site - seo tools reporting

  1. Anonymous said...:

    I like reading through a post that will make men and women think.
    Also, many thanks for permitting me to comment!

    my homepage pay day loans reviews

  1. Anonymous said...:

    If you would like to get much from this post then you have
    to apply these techniques to your won weblog.

    Also visit my website; 40+ dating

  1. Anonymous said...:

    sangat lengkap.. kebetulan saya mencari teori konflik.. terimakasih

Post a Comment