Teori Game 'Wittgenstein' dan Novel 5 cm: sedikit ulasan

Monday 27 June 2011

Ada beberapa teori yang bisa digunakan dalam menunjukan realitas dalam sebuah karya sastra. Di antaranya adalah Teori Habitus yang dicetusoleh Pierre Bourdie, Teori Konflik dan teori yang dipelopori oleh Wittgenstein yaitu Teori Game. Masing-masing teori memiliki persan dan sejarah tersendiri. Untuk selanjutnya saya akan mencoba memaparkan realitas yang ada dalam karya sastra melalui Teori Game.
Teori game pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Wittgenstein. Teori game sendiri lebih digunakan untuk menganalisa bahasa. Wittgenstein menepis keberadaan bahasa yang berlaku universal yakni bahasa yang telah merangkum segala bahasa berdasar pada aturan-aturan logika. Dan sebagai ganti dari pendapat tersebut dikembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Wittgenstein tidak memungkiri adanya bahasa metafisika,teologi dan etika, tetapi lebih menegaskan baha bahasa-bahasa tersebut adalah salah satu dari sekian ragam bahasa khusus yang merupakan salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Permainan bahasa adalah sesuatu yang sulit untuk diprediksikan. Hal ini diakibatkan oleh sifat spasio-temporal yang dimiliki permainan bahasa yakni tergantung pada konteks waktu dan tempat tertentu. Dalam permainan bahasa tidak ada norma yang mengikat dan bersifat absolut bagi setiap ragam penggunaan permainan bahasa.
Wittgenstein memulai pemaparannya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa tak bisa dilepaskan dari pengguaan bahasa sehari-hari yang sifatnya sederhana. Permainan bahasa adalah sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kecil sehingga Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa yang primitif. Secara lebih luas, dia mengatakan baha keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan manusia yang senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Jadi, setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah perwujudan dari permainan bahasa.
Konsep Wittgenstein tentang realitas dunia yang dilukisakan melalui bahasa dan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dan bahkan menjadi dasar Ontologis Tractus.
Permainan bahasa dalam sebuah karya sastra adalah suatu elemen yang memiliki peranan penting dalam menghidupkan cerita yang tertuang dalam sebuah karya sastra. Dengan permainan bahasa yang indah menjadikan sebuah karya sastra sangat menarik dan tak jarang pembaca menjadi larut dalam alur yang dipaparkan.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa novel karya Donny Dhirgantoro yang berjudul 5 cm benar-benar membenarkan pepatah yang berbunyi ‘Dengan membaca kau bisa berkeliling dunia’. Hal ini dikarenakan kepiawaian penulis dalam mendiskripsikan keadaan yang dituangkan dalam wujud kata. Pembaca seolah ikut dalam kisah yang dipaparkannya.
     Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasanya sendiri. Seorang penutur akan bertutur dengan cara berbeda jika berhadapan dengan dua golongan yang berbeda pula meskipun informasi yang disampaikannya sama. Segalanya tergantung pada objek.
     Di dalamnya digambarkan seorang tokoh yang melakukan dialog dengan tokoh  lain yang lebih tua dan dia hormati. Diceritakan Ian yang melakukan konsultasi dengan dosennya Sukonto Legowo untuk penyusunan skripsinya. “Iya, Pak. Saya baca buku dan ngerjain kerangka bab-bab selanjutnya supaya nanti bisa cepet. Tiap malem saya tidur larut sekali.” (5cm, hlm. 123). Bandingkan dengan dialog Ian dengan tokoh lain yang tak lain adalah komputer yang digunakannya menegtik skripsi, “Gue udah tau lo mau nyela gue dari tadi.” (5cm, hlm. 108) atau dengan dialog yang satu ini ketika Ian berbicara pada keempat sahabatnya “Gue nggak pernah punya temen kayak lo semua. Baik semuanya biarpun kadang-kadang kalian bego, tolol, dan nggak ber-perikeoranggendutan. Tapi kalian baiiiik semua....”
     Teori game dianggap mampu merefleksi realistis yang dituangkan dalam karya sastra, baik itu berupa cerita pendek, novel, puisi, pantun dan lainnya. Hal tersebut bisa tergambar dalam pemakaian permainan bahasa dalam kehidupan sehari-hari oleh suatu kelompok masyarakat yang dimasukkan ke dalam karya sastra.
     Dalam 5 cm yang menceritakan kehidupan lima anak muda Jakarta dalam menjalani kehidupan sehariannya yang sederhana namun dikemas dengan sangat ‘manis’. Penyebutan kata saya yang digantikan dengan kata gue, kata kamu dengan loe, kakak dipanggil mas atau abang. Dua contoh kata yang digunakan tersebut hanyalah sebagian kecil dari bahasa anak muda yang mereka gunakan pada lingkungannya yang diadaptasi dari bahasa Betawi yang merupakan kelompok masyarakat asli Jakarta. Di sinilah bahasa bisa menggambarkan keadaan realitas masyarakat yang terangkat dalam karya sastra.
     Yang menjadi masalah adalah jika tata bahasa yang digunakan dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan pada tempat yang menjadi latar cerita tersebut. Penggunaan kata loe atau gue tidak mungkin kita dapatkan pada karya yang diceritakan terjadi di Makassar atau Maluku. Kalau pun ditemukan hal demikian semestinya ada  penjelasan yang tertuang di dalamnya. Entah itu salah satu tokoh di dalamnya memang berasal dari Jakarta atau telah hidup lama di sana. Ketika kita menyaksikan Badik Titipan Ayah yang merupakan cerita tentang budaya Makassar dan tentunya berlatarbelakang daerang Makassar dan sekitarnya, tidak akan ditemukan kata loe atau abang meskipun sang aktor berasal dari Jakarta melainkan kata saya atau Daeng.
     Kegunaan praktis dari teori game adalah pembahasannya di sekitar masalah tata bahasa yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan merupakan elemen vital dalam melakukan aktivitas sosial. Sebagai teori yang digunakan untuk menganalisa bahasa, tentu saja teori game bisa digunakan dalam menganalisis bahasa bukan hanya dari segi kesusastraan saja.
     Karya sastra kanon yang terjadi sebagai kemelut zaman merupakan bentuk perwujudan perlawanan terhadap tindakan semena-mena terhadap suatu kelompok tertentu yang akhirnya bisa menbangkitkan semangat dan kepedulian sosial antar sesama. Namun pada akhirnya karya sastra kanon ini tersingkirkan oleh keberadaan advokasi atas hak dan kesadaran individu. Seseorang yang telah hidup terbiasa dengan segala sesuatu yang dikerjakannya sendiri akan berubah menjadi malas dan kehilangan kreatifitas ketika telah mengalami suatu proses ‘penyuapan’ atas ilmu yang sebelumnya dipelajari sendiri namun kini semuanya tersedia dalam sebuah bundel buku yang wajib mereka pelajari.
     Lambat laun karya sastra yang muncul semakin menunjukkan eksistensi individu dan kelompok yang tergambar di dalamnya. Indonesia sendiri memiliki sejarah kelam dimana sejumlah karya yang dihasilkan dicap ‘berbahaya’ dan ditarik dari pasar bahkan pada generasi jauh sebelumnya malah dibakar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peran pemerintah pada saat itu yang sangat keras dalam membatasi karya sastra yang dihasilkan oleh mereka yang disebut pemberontak.
     Dewasa ini dunia kesusastraan mulai diramaikan oleh beberapa nama baru yang berasal dari kaum muda yang tiap hari bermunculan satu demi satu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kepala kaum muda dibanjiri oleh imajinasi-imajinasi yang liar dan kemudian mereka tumpahkan dalam sebuah karya. Dan tingkat kreatifitas kaum muda tidak bisa dianggap sepeleh. Hal ini pula yang memungkin terjadinya pergeseran tata bahasa dari dunia kesusastraan yang sebelumnya dipenuhi oleh penulis-penulis ‘tua’ dengan bahasa melayu yang tak bisa lepas dari kehidupan mereka serta para penulis kontemporer dengan segala macam perlambangan yang mereka sajikan dalam karya mereka dan kemudian hadir pula para kaum muda dengan bahasa nyeleneh dan blak-blakan meskipun yang mereka sampaikan adalah sebuah kejujuran.
Keberadaan kaum muda dengan sastra pop belum mampu untuk menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Yang mereka sajikan adalah tampilan berbeda dari wajah sastra yang ada sebelum kehadiran mereka. Sastra pop tersaji dengan wajah kekinian dengan tema yang diusung sedikit lebih ‘fresh’ dan pemaparannya pun juga dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan sekarang.
Bagaimana pun modelnya, sebuah karya sastra akan senantiasa membuat perubahan dari masa ke masa dan tentu saja bisa dikatakan menjadi lebih baik.

0 comments:

Post a Comment