Awal Kemunculan Tubek

Monday 27 June 2011
Hari yang paling ditunggu-tunggu bukanlah awal bulan, melainkan moment wisuda dan ulang tahun dimana ketika kedua hari itu tiba kami bisa menghemat uang makan dan pastinya porsi makan yang tak seadanya. Cukup melist hari lahir kawan-kawan dan selanjutnya berbasa-basi memberi ucapan dan segala macam doa lewat short message atau posting di wall facebook dan ujungnya adalah pengemisan traktir kepada yang berulang tahun.
      Malam itu Cycha datang dengan matic putihnya disusul Visal tentunya. Masih dengan gaya centilnya memasuki pintu rumah.
      “Assalamu alaikum..”salamnya terjawab singkat “Lam..”
      “Ayo ke rumahnya Rani! Ulang tahun ki. Makan-makan.”
      “Iyo kah? Serius duleh.. Sa kira lewat mi.” Oq antusias.
      “Lewat mi memang tapi baru datang Macenya dari Sorong.”
      “Wee, ada perkemekan di rumahnya Rani!”
      Oq berteriak memberi tahu yang lain di kamar dan balai-balai belakang rumah. Tanpa teriak pun mereka pasti sudah tahu dan bisa mendengar percakapan di ruang depan.
      “Kurang motor tante.” Aku menatap Cycha.
      “Ada ji motorku, kan saya sama Visalku.”
      “Masih kurang lah. Tidak bisa juga bonceng tiga ke rumahnya Rani.”
      Benga muncul dari belakang lalu ikut dalam percakapan.
      “Sms Uznul sama Wawan, dia mau ke sini sa kira.”
      “Sani, Garring juga sekalian.” Oq menambahkan.
“Ke Takalar ki Garring dia bilang. Biasa subuh pi dia pulang jadi langsung masuk kampus.”
      “Sms mi saja. Paling tidak kita kasi tahu ji.”

      Send to many, Atenk; Idunk ; Garring
Ad undgan k rmhX tante Rani. Ad acr kmek.
Kmpul d RR spy qt bragkt rme2. Cpatko smua.
Sender : Cadel
Pesan telah terkirim.


      Semua mulai bergegas, bersiap untuk mengeksekusi makanan di rumah Rani kecuali Ical. Sejak tadi dia jarang ngomong, kerjanya hanya tidur di dalam kamar. Baru kali ini dia betah berlama-lama di kamar.
“Sama Uznul mako nanti kau Sani. Jadi Uun bisa sama Ical. Ada ji motorku sama motornya Cycha juga jadi bisa ji dipake sama Ang atau Dotja.” Oq mulai mengatur siapa membonceng siapa.

      “Ndak mau ikut Ical katanya” Benga muncul lagi.
      “Kenapai Ical kah?” Dotja menoleh ke Benga.
      Mendengar kami sedang mempertanyakan dirinya di halaman depan, Ical keluar kamar dengan sarung yang ia kenakan. Pemandangan yang sangat jarang terlihat.
      “Ndak usah ma ikut. Panas badanku. Jaga rumah meka saja saya.”
“Ikut mako saja Cal, na adaji penjaganya RR. Kenapa kau bisa demam kah?”
“Tidak bisa ka juga jalan ini. Malas ka pake celana. Sakit biji ko**o*ku. Ini yang kasi panas badanku.”
“Kau kah tidak kau kasi istirahat juga barangmu. Jangan dikasi kerja terus itu barang.” Oq menimpali ditambah senyum busuk sedang yang lain juga ikut senyam senyum.

Semua kini berada di halaman depan. Hanya Uun yang sibuk keluar masuk rumah. Uznul telah tiba serta Wawan dan Ria yang sampai tak lama sesudahnya sedang Garring belum juga memberi konfirmasi. Mungkin pulsanya habis pada saat, hanya itu yang bisa aku perkirakan.
Kami tinggal menunggu Uun yang kini berada di dalam kamar. Mungkin dia sedang mengutak atik tas pakaiannya yang kami simpan dalam kamar bersama buku-buku kuliah tak terurus dan barang rongsokan lain yang tak kunjung kami buang. Kami membiarkan saja barang-barang itu tetap berada dalam kamar. Paling tidak bisa menjadikan kamar RR memiliki fungsi sebagai gudang. Bukan kamar tidur.
Uun melangkahkan kakinya keluar kamar. Dengan celana jeans hitam selutut yang sangat jelas mempertontonkan betis berototnya dipadankan dengan baju kaos berwarna hitam pula. Sama hitamnya dengan hati si pemakai. Tapi bukan itu yang menjadi centre of attention buat kami. Pakaian serba hitam dan wajah yang selalu dibuat-buat cool sudah sangat sering kami jumpai. Malam itu dia mengenakan topi hitam lebar persis topi yang sering dipakai porsenil Peewee Gaskin. Dengan mantap dia menghampiri kami dan berujar,
“Ayo mi!”
Sejeda kami diam dan saling pandang kemudian. Karena tak mampu lagi menahannya akhirnya pecahlah tawa kami. Ical sendiri sejenak melupakan rasa sakit pada bijinya. Dia terpingkal pula. Uun hanya melongo mempertanyakan apa yang menjadi bahan tertawaan kami dalam hati.
“Mauko ke mana Un?”Dotja tertawa sambil bertanya.
“Sa kira mau makan di rumahnya Rani.” Uun masih saja bingung.
“Cocok mi. Tidak mau ji pergi geol orang Un.”
“Kau kayak Tukang Becak saja penampilanmu.”
Semua kembali sibuk tertawa. Dia pun ikutan tertawa atas kekonyolannya.
“Hahaaaahaaaa… kau kayak tubek Un.”

Kami pun berangkat ke rumah Rani meninggalkan Ical dan sisa lelucon tadi bersama semahluk cantik yang tak terjamah yang juga hidup bersama kami menghuni RR. Tak apalah sekali dia berdiam diri di rumah. Kami menjanjikan untuk membungkus makanan untuknya.
Sepanjang perjalanan pun tetap saja Uun dengan gelar barunya menjadi bahan tertawaan. Bahkan sesampai di rumah Rani masih juga menertawakan profesi baru Uun sebagai tubek..

0 comments:

Post a Comment